Hari Minggu Biasa XXX, Tahun A

Belajarlah Mengasihi
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Kel. 22:21-27
Bacaan II: 1Tes. 1:5c-10
Bacaan Injil: Mat. 22:34-40

Umat beriman yang terkasih!
Ada sebuah kutipan bijak, yang coba saya ambil untuk memperkaya pesan dari bacaan-bacaan suci yang diperdengarkan kepada kita hari ini. Kata bijak itu berasal dari seorang pemimpin spiritual dari Tibet, yaitu Dalai Lama XIV. Dia mengatakan begini, “Jika kamu ingin orang lain bahagia, belajarlah mengasihi. Jika kamu ingin bahagia, belajarlah mengasihi”.
“Belajarlah mengasihi”, itulah kata kunci kebahagiaan, yang bukan hanya saja untuk membahagiakan orang lain, tetapi juga sebenarnya menjadi kunci kebahagiaan diri sendiri. Orang yang bahagia adalah mereka yang di dalam hidupnya selalu belajar untuk mengasihi.
Mengapa perlu untuk “selalu belajar mengasihi”? Karena kata mengasihi ini bisa saja mudah untuk diucapkan, seperti anak muda yang sedang jatuh cinta, mengatakan kepada kekasihnya, “aku mengasihimu”, tetapi dalam kenyataannya belum tentu sepenuh hati. Apalagi kalau cintanya masih segi-tiga, segi-empat, atau segi-lima, maka kata-kata tadi, “aku mengasihimu” hanyalah omong kosong alias bohong. Oleh karena itu, untuk bisa mengasihi, kita butuh belajar. Artinya, butuh bertindak terus-menerus untuk memperlihatkan kasih itu, bukan asal omong. Dan tindakan kasih itu harus berlangsung seumur hidup, sepanjang waktu, karena itu butuh kesetiaan untuk mengamalkannya. Bagi mereka yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian.
“Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah, dan terlalu pendek bagi yang bahagia. Tapi bagi yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian”
Time is too slow for those who wait, too swift for those who fear, too long for those who grieve, too short for those who rejoice. But for those who love, time is not. (Henry van Dyke, 1852-1933)
***
Dalam bacaan pertama hari ini, kita mendengar bagaimana Tuhan memperingatkan umat Israel untuk tidak menindas orang asing, atau janda, atau anak yatim. Pesan Tuhan ini dimaksudkan supaya umat Israel belajar mengasihi sesamanya, seperti Tuhan sendiri yang sudah terlebih dahulu mengasihi mereka dan membawa mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Peringatan Tuhan jelas, kalau mereka tidak mengasihi sesamanya, murka Tuhan akan menimpa mereka.
Dalam bacaan Injil tadi, kita mendengar lagi bagaimana orang Israel, yang diwakili oleh orang-orang Farisi mau mencobai Yesus dengan menanyakan hukum manakah yang terbesar dalam hukum Taurat. Jawaban Yesus sebenarnya seperti yang sudah mereka ketahui, yaitu bahwa harus mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Dan hukum yang sama dengan itu, ialah mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.
Jawaban Yesus ini sekilas terlihat ada perintah ganda untuk mengasihi, yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Tetapi dalam praksisnya perintah itu sebenarnya adalah sebuah tindakan tunggal dalam mengasihi. Artinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa saya mengasihi Allah, tetapi mengabaikan sesama kita. Atau kita mengatakan saya mengasihi sesama, tetapi memungkiri kehadiran Allah dalam hidup kita. Mengasihi Allah dan sesama adalah satu paket tindakan. Mengasihi yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain.   

 Umat beriman yang terkasih!
            Untuk bisa mengamalkan hukum atau perintah Tuhan ini, maka sekali lagi kita butuh “belajar mengasihi”. Kita yang hadir di sini, yang sudah setia mengikuti perayaan ekaristi pada hari Minggu atau selalu menghadiri doa bersama dan tidak alpa juga berdoa pribadi (berkomunikasi dengan Tuhan), tentu semua itu kita lakukan karena kita mengasihi Tuhan atau kita mau menunjukkan kasih kita kepada Tuhan. Tindakan atau praktek ini sudah benar. Tuhan tahu isi hati kita. Hanya saja pesan Tuhan seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama tadi, bahwa kita juga harus mengasihi sesama kita, entah itu dia anggota keluarga kita atau tetangga kita atau orang asing, sudahkah kita juga mengasihi mereka?
            Rasanya secara ritual, mudah saja bagi kita untuk mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan. Tetapi dalam praksis, justru yang lebih sulit adalah ketika Tuhan meminta kita untuk mengasihi juga sesama di sekitar kita sama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Kadang justru hukum atau perintah ini yang sulit untuk kita amalkan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
            Pertama, karena kita terlalu ingat diri, ingat kepentingan atau keselamatan diri  kita sendiri. Yang penting saya percaya kepada Tuhan, saya rajin ke Gereja, saya rajin berdoa, Tuhan pasti senang dengan saya. Terserah mereka yang lain mau buat apa, saya tidak peduli. Saya tidak suka dengan mereka atau saya benci mereka. Benarkah Tuhan sudah senang dengan tingkah laku kita semacam ini? Pasti tidak! Sebab seperti kata St. Yohanes dalam suratnya yang pertama, “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah”, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta/pembohong, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya (1 Yoh. 4:20).
            Kedua, karena kita tidak mau atau tidak setia “belajar mengasihi”. Namanya juga belajar, berarti kita setiap hari dituntut untuk mengamalkan paling kurang satu atau dua perbuatan baik yang bisa kita lakukan di sekitar lingkungan hidup kita, di dalam keluarga atau dalam perjumpaan dengan tetangga atau sesama di sekitar kita. Lebih banyak lagi perbuatan baik yang bisa kita lakukan, tentu lebih baik lagi. Tetapi, kalau proses belajar mengasihi tiap hari ini kita lalaikan atau kita abaikan, maka dengan sendirinya kita gagal mentaati hukum Tuhan. Kita gagal mengasihi Tuhan dan sesama.  
***
Marilah kita coba belajar dari kehidupan St. Paulus dan jemaat di Tesalonika, sebagaimana yang kita dengar dalam bacaan kedua tadi. St. Paulus bekerja demi kepentingan jemaat di Tesalonika, artinya ia telah belajar berbuat baik sebagai tanda kasihnya kepada jemaat itu, sehingga jemaat di Tesalonika pun dapat bertumbuh dalam iman dan menjadi teladan bagi semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya karena perbuatan baik mereka.
Kita pun dalam lingkungan hidup kita, di dalam keluarga, dalam hidup bermasyarakat dan berparoki, kita hendaknya terus belajar mengasihi melalui perbuatan-perbuatan baik kita. Ada banyak cara untuk menunjukkan perbuatan baik itu. Semoga, dengan pertolongan rahmat Tuhan, kita bisa terus belajar mengasihi Tuhan dan sesama lewat perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan sehari-hari.


Tuhan memberkati kita sekalian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar