Hidup Dalam Keadilan Dan Kebenaran
(Pe. Matias da Costa, SVD)
Bacaan I: Yes. 5:1-7
Bacaan II: Flp. 4:6-9
Bacaan Injil: Mat. 21:33-43
Umat beriman yang terkasih!
Tuhan dalam banyak kesempatan dan cara selalu berusaha mengingatkan kita, umat-Nya, untuk memperbaiki tingkah laku atau perbuatan kita yang seringkali menyimpang dari kehendak-Nya.
Seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini, melalui nubuat nabi Yesaya, Tuhan menegur umat Israel, yang tak lain adalah kebun anggur-Nya sendiri, untuk bertobat dan memperbaiki cara hidup mereka yang sudah rusak dan menyimpang dari kehendak Allah. Dalam nyanyian yang isinya mengandung kiasan, namun sarat dengan sindiran dan ancaman itu, Tuhan menyatakan bahwa umat pilihan-Nya, umat Israel, sudah tidak lagi menghasilkan buah yang manis atau buah yang baik. Mereka, umat Israel, justru menghasilkan buah yang masam atau tidak enak. Buah semacam itu memang sangatlah tidak diharapkan oleh Sang Pemilik kebun anggur, yang tak lain adalah Tuhan sendiri. Buah masam atau tidak enak tersebut adalah perbuatan bangsa Israel yang telah menyimpang dari kehendak Allah. Padahal Tuhan sudah berusaha untuk merawat, memupuk, mengarahkan bangsa Israel, kebun anggur-Nya itu, untuk menghasilkan buah yang manis atau perbuatan yang baik. Namun hasilnya memang sungguh di luar dugaan, sangat mengecewakan hati Tuhan.
Boleh dibilang, dalam situasi seperti ini Tuhan sepertinya merasa gagal panen atau gagal menghasilkan sesuatu yang baik dari apa yang sudah dipilih-Nya untuk dikerjakan. Seperti kita juga yang kadang sudah berusaha bekerja maksimal di kebun kita sendiri atau di kantor atau di mana pun, untuk menghasilkan sesuatu yang baik, namun hasil yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Tentu kita akan merasa sakit hati. Kita merasa kecewa, mempertanyakan, mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Padahal semua usaha sudah kita curahkan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang baik itu. Demikian pun Tuhan pada masa itu sungguh kecewa dengan sikap dan perbuatan bangsa Israel karena umat yang sudah dipilih dan dirawat-Nya untuk menghasilkan sesuatu yang baik, ternyata tidak menghasilkan buah/perbuatan yang baik. Yang Tuhan harapkan dari umat Israel adalah supaya mereka hidup dalam KEADILAN dan KEBENARAN. Namun yang terjadi justru sebaliknya, umat Israel hidup dalam KELALIMAN, KEONARAN dan KEKERASAN sebagai gambaran buah yang masam, yang sangat tidak diharapkan oleh Tuhan.
Umat beriman yang terkasih!
Situasi yang ditampilkan dalam bacaan pertama tadi, sepertinya masih terus berlanjut pada zaman Yesus. Bahwa umat Israel, umat yang sudah dipilih Tuhan, yang sudah dirawat, untuk menghasilkan buah/perbuatan baik, ternyata masih saja hidup dalam kelaliman, keonaran dan kekerasan. Bahkan yang menjadi provokatornya adalah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi, yang notabene adalah orang-orang religius, pandai, dan tahu secara persis apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup mereka, yatu supaya mereka bisa mengusahakan hidup dalam keadilan dan kebenaran. Namun, yang dipertontonkan oleh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi justru sebaliknya. Mereka bahkan menolak Putera Allah, Tuhan Yesus sendiri, yang berusaha menegur cara hidup mereka yang salah. Bahkan setelah mereka menyadari bahwa perumpamaan yang Yesus sampaikan sebenarnya ditujukan kepada mereka, sebagai penggarap-penggarap/pekerja-pekerja kebun anggur yang jahat, mereka kemudian berusaha untuk membunuh Yesus.
Sifat atau cara hidup umat Israel yang mengecewakan hati Tuhan ini adalah gambaran umum tentang perilaku hidup kita juga, yang seringkali tidak menghasilkan buah/perbuatan yang baik di mata Tuhan. Sadar atau tidak, kita yang sudah dibaptis menjadi anak-anak Allah ini seringkali berlaku atau berbuat tidak sesuai dengan predikat atau status kita sebagai anak-anak Allah. Kita seringkali berbuat sesuka hati kita, lupa Tuhan, yang sudah menganugerahkan hidup kepada kita dan mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya. Hidup sebagai anak-anak Allah, sebagai orang Kristen (orangnya Kristus) seharusnya menyadarkan kita untuk mengutamakan kehendak Allah di dalam hidup kita, yaitu hidup dalam Keadilan dan Kebenaran, dan bukannya hidup dalam kelaliman, keonaran dan kekerasan.
Hidup dalam Keadilan dan Kebenaran berarti kita dituntut untuk berpikir dan berbuat secara tepat di dalam kehidupan ini, entah itu dalam hidup menggereja maupun dalam hidup sosial kita: hidup berkeluarga, hidup bermasyarakat dan hidup berbangsa. Berpikir dan berbuat secara tepat adalah pengetahuan tentang apa yang harus saya terima (hak saya) dan apa yang harus saya berikan (kewajiban saya) dalam kehidupan ini.
Sebagai orang Katolik, kita tentu memiliki hak untuk memohon berkat Tuhan dalam hidup ini. Apalagi kita sebagai anak-anak Allah, kita pasti membutuhkan perlindungan dan rejeki tiap hari untuk pemenuhan kebutuhan hidup kita. Dan Tuhan pasti menganugerahkan-Nya kepada kita. Dari bangun pagi dan sampai tidur kembali pada malam hari, kita sebenarnya sudah menerima hak-hak kita, yang dianugerahkan sendiri oleh Tuhan kepada kita. Hanya saja pertanyaannya, apakah kita sadar atau tidak bahwa rahmat kehidupan yang kita terima tiap hari itu sebenarnya berasal dari Allah sendiri?
Di samping menuntut hak yang harus kita terima, sebagai orang Katolik juga kita memiliki kewajiban yang harus diberikan kepada Allah. Kewajiban itu adalah kita mentaati apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita dalam kehidupan ini. Kita harus membuka hati, menerima Tuhan hadir di tengah-tengah kita, untuk menjamin hidup kita tiap hari. Biasanya kewajiban ini yang menjadi masalah besar bagi kita. Kita lebih senang menuntut hak kita, bahwa Tuhan harus menganugerahkan ini-itu kepada kita, tetapi setelah kita mendapatkan semua yang kita butuhkan itu, kita cepat sekali melupakan kebaikan Tuhan. Kita menyangka semua yang kita peroleh dalam hidup ini hanya semata-mata dari hasil jerih-payah kita sendiri. Kita durhaka, tidak tahu mengucap syukur kepada Tuhan, malas berdoa, malas ke Gereja, malas berpartisipasi aktif dalam hidup menggereja, berparoki maupun dalam lingkungan umat basis kita. Padahal ini baru sebatas soal hak dan kewajiban kita dengan Tuhan, soal hubungan pribadi kita dengan Tuhan, soal iman kita. Apalagi soal hak dan kewajiban kita dalam hidup sosial: dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa?
Secara sederhana, untuk bisa menilai bahwa seseorang itu berpikir dan berbuat secara tepat di dalam hidupnya, tahu hak dan kewajibannya dalam hidup sosial, kita cukup menilainya dari kualitas iman yang dimiliki, hubungan pribadinya dengan Tuhan. Orang yang sungguh-sungguh beriman, biasanya sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak lagi mementingkan dirinya sendiri, melainkan lebih mengutamakan kebaikan dan keselamatan orang lain. Baginya, hak yang patut diterimanya hanyalah kebahagiaan hidup, karena telah menjalankan kewajibannya menghasilkan buah/perbuatan baik dalam relasi dengan sesamanya, dengan keluarganya sendiri, dengan masyarakat di sekitarnya dan juga dengan siapa saja dalam lingkup hidup berbangsa. Itu saja!
Oleh sebab itu, umat beriman yang terkasih, St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menasehati kita, agar kita berbuat yang benar, berbuat yang adil, berbuat yang suci, berbuat kebajikan yang patut dipuji, itulah yang harus kita pikirkan dan kita perbuat di dalam hidup ini. Hanya dengan cara itulah, Allah, sumber damai sejahtera, akan menyertai kita, menyertai hidup keluarga kita, menyertai hidup bermasyarakat kita, menyertai hidup berbangsa kita.
Marilah kita menanggapi sabda Tuhan yang telah kita dengar dalam perayaan ini, dengan hidup dalam Keadilan dan Kebenaran, memahami hak dan kewajiban kita, berpikir dan berbuat secara tepat, entah itu dalam hidup menggereja maupun dalam hidup sosial, sehingga damai sejahtera Allah selalu tinggal beserta kita.
Seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini, melalui nubuat nabi Yesaya, Tuhan menegur umat Israel, yang tak lain adalah kebun anggur-Nya sendiri, untuk bertobat dan memperbaiki cara hidup mereka yang sudah rusak dan menyimpang dari kehendak Allah. Dalam nyanyian yang isinya mengandung kiasan, namun sarat dengan sindiran dan ancaman itu, Tuhan menyatakan bahwa umat pilihan-Nya, umat Israel, sudah tidak lagi menghasilkan buah yang manis atau buah yang baik. Mereka, umat Israel, justru menghasilkan buah yang masam atau tidak enak. Buah semacam itu memang sangatlah tidak diharapkan oleh Sang Pemilik kebun anggur, yang tak lain adalah Tuhan sendiri. Buah masam atau tidak enak tersebut adalah perbuatan bangsa Israel yang telah menyimpang dari kehendak Allah. Padahal Tuhan sudah berusaha untuk merawat, memupuk, mengarahkan bangsa Israel, kebun anggur-Nya itu, untuk menghasilkan buah yang manis atau perbuatan yang baik. Namun hasilnya memang sungguh di luar dugaan, sangat mengecewakan hati Tuhan.
Boleh dibilang, dalam situasi seperti ini Tuhan sepertinya merasa gagal panen atau gagal menghasilkan sesuatu yang baik dari apa yang sudah dipilih-Nya untuk dikerjakan. Seperti kita juga yang kadang sudah berusaha bekerja maksimal di kebun kita sendiri atau di kantor atau di mana pun, untuk menghasilkan sesuatu yang baik, namun hasil yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Tentu kita akan merasa sakit hati. Kita merasa kecewa, mempertanyakan, mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Padahal semua usaha sudah kita curahkan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang baik itu. Demikian pun Tuhan pada masa itu sungguh kecewa dengan sikap dan perbuatan bangsa Israel karena umat yang sudah dipilih dan dirawat-Nya untuk menghasilkan sesuatu yang baik, ternyata tidak menghasilkan buah/perbuatan yang baik. Yang Tuhan harapkan dari umat Israel adalah supaya mereka hidup dalam KEADILAN dan KEBENARAN. Namun yang terjadi justru sebaliknya, umat Israel hidup dalam KELALIMAN, KEONARAN dan KEKERASAN sebagai gambaran buah yang masam, yang sangat tidak diharapkan oleh Tuhan.
Umat beriman yang terkasih!
Situasi yang ditampilkan dalam bacaan pertama tadi, sepertinya masih terus berlanjut pada zaman Yesus. Bahwa umat Israel, umat yang sudah dipilih Tuhan, yang sudah dirawat, untuk menghasilkan buah/perbuatan baik, ternyata masih saja hidup dalam kelaliman, keonaran dan kekerasan. Bahkan yang menjadi provokatornya adalah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi, yang notabene adalah orang-orang religius, pandai, dan tahu secara persis apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup mereka, yatu supaya mereka bisa mengusahakan hidup dalam keadilan dan kebenaran. Namun, yang dipertontonkan oleh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi justru sebaliknya. Mereka bahkan menolak Putera Allah, Tuhan Yesus sendiri, yang berusaha menegur cara hidup mereka yang salah. Bahkan setelah mereka menyadari bahwa perumpamaan yang Yesus sampaikan sebenarnya ditujukan kepada mereka, sebagai penggarap-penggarap/pekerja-pekerja kebun anggur yang jahat, mereka kemudian berusaha untuk membunuh Yesus.
Sifat atau cara hidup umat Israel yang mengecewakan hati Tuhan ini adalah gambaran umum tentang perilaku hidup kita juga, yang seringkali tidak menghasilkan buah/perbuatan yang baik di mata Tuhan. Sadar atau tidak, kita yang sudah dibaptis menjadi anak-anak Allah ini seringkali berlaku atau berbuat tidak sesuai dengan predikat atau status kita sebagai anak-anak Allah. Kita seringkali berbuat sesuka hati kita, lupa Tuhan, yang sudah menganugerahkan hidup kepada kita dan mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya. Hidup sebagai anak-anak Allah, sebagai orang Kristen (orangnya Kristus) seharusnya menyadarkan kita untuk mengutamakan kehendak Allah di dalam hidup kita, yaitu hidup dalam Keadilan dan Kebenaran, dan bukannya hidup dalam kelaliman, keonaran dan kekerasan.
Hidup dalam Keadilan dan Kebenaran berarti kita dituntut untuk berpikir dan berbuat secara tepat di dalam kehidupan ini, entah itu dalam hidup menggereja maupun dalam hidup sosial kita: hidup berkeluarga, hidup bermasyarakat dan hidup berbangsa. Berpikir dan berbuat secara tepat adalah pengetahuan tentang apa yang harus saya terima (hak saya) dan apa yang harus saya berikan (kewajiban saya) dalam kehidupan ini.
Sebagai orang Katolik, kita tentu memiliki hak untuk memohon berkat Tuhan dalam hidup ini. Apalagi kita sebagai anak-anak Allah, kita pasti membutuhkan perlindungan dan rejeki tiap hari untuk pemenuhan kebutuhan hidup kita. Dan Tuhan pasti menganugerahkan-Nya kepada kita. Dari bangun pagi dan sampai tidur kembali pada malam hari, kita sebenarnya sudah menerima hak-hak kita, yang dianugerahkan sendiri oleh Tuhan kepada kita. Hanya saja pertanyaannya, apakah kita sadar atau tidak bahwa rahmat kehidupan yang kita terima tiap hari itu sebenarnya berasal dari Allah sendiri?
Di samping menuntut hak yang harus kita terima, sebagai orang Katolik juga kita memiliki kewajiban yang harus diberikan kepada Allah. Kewajiban itu adalah kita mentaati apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita dalam kehidupan ini. Kita harus membuka hati, menerima Tuhan hadir di tengah-tengah kita, untuk menjamin hidup kita tiap hari. Biasanya kewajiban ini yang menjadi masalah besar bagi kita. Kita lebih senang menuntut hak kita, bahwa Tuhan harus menganugerahkan ini-itu kepada kita, tetapi setelah kita mendapatkan semua yang kita butuhkan itu, kita cepat sekali melupakan kebaikan Tuhan. Kita menyangka semua yang kita peroleh dalam hidup ini hanya semata-mata dari hasil jerih-payah kita sendiri. Kita durhaka, tidak tahu mengucap syukur kepada Tuhan, malas berdoa, malas ke Gereja, malas berpartisipasi aktif dalam hidup menggereja, berparoki maupun dalam lingkungan umat basis kita. Padahal ini baru sebatas soal hak dan kewajiban kita dengan Tuhan, soal hubungan pribadi kita dengan Tuhan, soal iman kita. Apalagi soal hak dan kewajiban kita dalam hidup sosial: dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa?
Secara sederhana, untuk bisa menilai bahwa seseorang itu berpikir dan berbuat secara tepat di dalam hidupnya, tahu hak dan kewajibannya dalam hidup sosial, kita cukup menilainya dari kualitas iman yang dimiliki, hubungan pribadinya dengan Tuhan. Orang yang sungguh-sungguh beriman, biasanya sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak lagi mementingkan dirinya sendiri, melainkan lebih mengutamakan kebaikan dan keselamatan orang lain. Baginya, hak yang patut diterimanya hanyalah kebahagiaan hidup, karena telah menjalankan kewajibannya menghasilkan buah/perbuatan baik dalam relasi dengan sesamanya, dengan keluarganya sendiri, dengan masyarakat di sekitarnya dan juga dengan siapa saja dalam lingkup hidup berbangsa. Itu saja!
Oleh sebab itu, umat beriman yang terkasih, St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menasehati kita, agar kita berbuat yang benar, berbuat yang adil, berbuat yang suci, berbuat kebajikan yang patut dipuji, itulah yang harus kita pikirkan dan kita perbuat di dalam hidup ini. Hanya dengan cara itulah, Allah, sumber damai sejahtera, akan menyertai kita, menyertai hidup keluarga kita, menyertai hidup bermasyarakat kita, menyertai hidup berbangsa kita.
Marilah kita menanggapi sabda Tuhan yang telah kita dengar dalam perayaan ini, dengan hidup dalam Keadilan dan Kebenaran, memahami hak dan kewajiban kita, berpikir dan berbuat secara tepat, entah itu dalam hidup menggereja maupun dalam hidup sosial, sehingga damai sejahtera Allah selalu tinggal beserta kita.
Tuhan memberkati kita sekalian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar