Hari Minggu Biasa XXIX, Tahun A

Menyelaraskan Kewajiban Kepada Allah (Hak Allah) 
Dan Kewajiban Kepada Sesama (Hak Sesama)
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Yes. 45:1.4-6
Bacaan II: 1Tes. 1:1-5b
Bacaan Injil: Mat. 22:15-21

Umat beriman yang terkasih!
Allah memilih raja Koresh supaya membebaskan umat Israel, seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini. Raja Koresh diurapi Allah, meskipun ia tidak mengenal Allah. Allah memilih dia untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu membebaskan umat Israel dari penindasan dan perbudakan. Raja Koresh adalah raja Persia, yang sekarang wilayahnya kita kenal dengan nama Negara Iran.

Pada masanya, kekuasaan raja Koresh ini sangat luas. Ia berhasil menaklukkan raja-raja di sekitarnya, dan segala pekerjaannya berhasil karena diberkati Allah. Dengan jelas dan tegas pula, raja Koresh kemudian mengakui bahwa Allahlah yang membuat dia berhasil dan dia mencanangkan program pembebasan dan pengembalian orang Israel sebagai bagian dari penggenapan janji Allah.

Raja Koresh ini juga, oleh para ahli sejarah dunia, disebut sebagai raja atau penguasa pertama yang kebijakannya ditetapkan sebagai piagam hak asasi manusia yang pertama. Raja Koresh menulis kebijakannya sebagai berikut:
“Saya adalah Koresh. Raja dunia. Saya memasuki Babel/Babylon… Saya tidak mengijinkan seorang pun untuk meneror wilayah tersebut… Saya tetap memperhatikan kebutuhan semua manusia dan semua tempat ibadahnya demi kesejahteraan mereka… Saya mengakhiri kemalangan mereka. Allah yang agung telah memberikan seluruh wilayah ke tanganku; wilayah-wilayah yang telah kujadikan tempat tinggal yang damai… Ketika pasukanku dalam jumlah yang besar memasuki Babel/Babylon, saya tidak mengijinkan seorangpun dari mereka untuk meneror penduduk… Saya membebaskan semua budak…menghapus kemalangan dan perbudakan” (menunjuk pada kaum Yahudi dan kelompok agama yang minoritas pada waktu itu di tindas di Babel). 
Maklumat raja Koresh ini ditulis dalam silinder yang terbuat dari tanah liat, yang sekarang disimpan di museum Inggris.

Dalam sejarah penyelamatan, Allah memang memilih raja-raja tertentu untuk memimpin atau pun membebaskan bangsa Israel. Namun kisah raja Koresh ini sesungguhnya mau mengajak kembali para penguasa yang tidak mengenal Allah untuk kembali beribadah kepada Allah. Karena hanya Allah saja yang bisa memampukan mereka untuk memimpin dengan baik, dengan bijaksana. Tanpa Allah mereka akan menjadi raja atau penguasa yang lalim, penguasa yang tidak berperikemanusiaan.
 ***
Dalam bacaan Injil yang diperdengarkan kepada kita hari ini, kita mendengar bagaimana orang-orang Farisi bersepakat dengan orang-orang Herodian untuk mencobai Yesus, dengan menanyakan, “Bolehkah membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”

Tentu pertanyaan ini dimaksudkan untuk menjebak Yesus, tetapi Yesus memberikan jawaban seperti yang sudah mereka sendiri ketahui, bahwa memang harus membayar pajak kepada Kaisar. Yesus tidak melarang orang Yahudi untuk membayar pajak kepada Kaisar. Karena konteksnya adalah umat Israel atau orang Yahudi pada waktu itu sedang berada di bawah penguasaan bangsa lain, berada di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi. Umat Israel atau orang Yahudi mengalami penjajahan sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Oleh sebab itu, mereka harus menanggung konsekuensinya, ketika mereka tidak mau hidup menurut kehendak Tuhan.

Konteks umat Israel ini tentu mengingatkan kita kembali kepada bacaan pertama tadi, yaitu ketika Allah memilih raja Koresh, seorang raja dari bangsa lain untuk menguasai mereka. Hal ini bisa saja terulang kembali pada masa Yesus, yaitu umat Israel pun berada di bawah pendudukan kekaisaran Romawi, supaya mereka disadarkan untuk bertobat dan kembali beribadah kepada Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Dan  sebenarnya, dengan membayar pajak kepada Kaisar pada waktu itu, hal ini tentu bisa menghindari penindasan yang lebih keji lagi atas diri mereka.  

Namun umat beriman yang terkasih, tidak hanya sebatas itu saja Yesus menjawabi keingin-tahuan para pencobanya. Yesus lebih jauh sebenarnya mau menyadarkan mereka untuk memberikan juga kepada Allah apa yang wajib mereka berikan kepada Allah, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Kalimat terakhir inilah yang sebenarnya menjadi penekanan utama Yesus. Bahwa umat Israel boleh saja membayar pajak kepada Kaisar, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah mereka harus memenuhi kewajiban mereka yang utama kepada Allah, yaitu memberikan apa yang wajib diberikan kepada Allah sebagai hak Allah.

Kita semua tentu bertanya, apa sebenarnya yang dimaksud Yesus sebagai hak Allah atau apa yang wajib diberikan kepada Allah, bukan saja hanya oleh umat Israel, tetapi juga oleh kita semua yang menamakan diri sebagai anak-anak Allah atau orang Katolik.

Yang menjadi hak Allah adalah bahwa kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati, dan memberikan seluruh diri kita untuk mentaati seluruh perintah-Nya sebagai manifestasi dari kasih kita kepada Allah. Dan pemberian kepada Allah ini adalah merupakan sebuah kewajiban (apa yang harus manusia beri kepada Allah). Dari sisi Allah, Dia mempunyai hak untuk dikasihi dan ditaati, karena Dia adalah Pencipta kita dan rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera dan keselamatan. Sedangkan dari sisi manusia, mengasihi Tuhan dan menjalankan semua perintah-Nya adalah merupakan suatu kewajiban, atau lebih tepatnya merupakan sebuah perintah yang harus ditaati atas dasar kasih. Bukan hanya sekadar aturan, tetapi sebagai ungkapan terima kasih kita kepada Allah yang sudah berkenan mencipta dan memelihara kehidupan kita.

Umat beriman yang terkasih!
Ajaran Tuhan Yesus ini, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar”, menunjukkan juga bahwa tiap-tiap orang mempunyai kewajiban terhadap Negara dan ini tidak bertentangan dengan pendirian orang Kristen (kita ingat brosur atau leaflet dari Dirjen Perpajakan yang menulis, “Yesus juga membayar pajak” untuk menyadarkan setiap wajib pajak Kristen untuk memenuhi kewajibannya). Sebab, kekuasaan suatu pemerintahan diberikan oleh Allah demi kesejahteraan manusia. Namun, di samping kewajiban membayar pajak kepada Negara, baik rakyat maupun pemerintah sebenarnya memiliki kewajiban yang lebih besar lagi, yaitu memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.
***
Dalam bacaan kedua hari ini, kita juga mendengar bagaimana St. Paulus mengungkapkan kepuasan dan rasa syukurnya atas keberadaan jemaat di Tesalonika. Setidaknya ada 3 hal yang dia syukuri dari jemaat itu, yaitu pekerjaan iman mereka, usaha kasih mereka, dan ketekunan pengharapan mereka kepada Tuhan Yesus Kristus. Frasa atau istilah “pekerjaan iman”, “usaha kasih”, dan “ketekunan pengharapan” itu menunjukkan bahwa iman, kasih dan pengharapan jemaat Tesalonika bukanlah iman, kasih, dan pengharapan palsu, melainkan iman, kasih dan pengharapan yang sungguh-sungguh nyata dan sejati. Kenyataan itulah yang membuat St. Paulus yakin bahwa Allah telah memilih mereka sebagai umat-Nya, karena mereka telah mengamalkan hidup sebagai jemaat Allah yang baik, yang bukan hanya karena mengusahakan kesejahteraan hidup bersamanya sendiri, tetapi juga telah menjalankan kewajibannya, memberikan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah, yaitu mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan penuh iman dan harap.
***
Bagaimana dengan kehidupan kita? Dalam kehidupan berparoki, kehidupan menggereja, bermasyarakat dan bernegara. Apakah kita sudah hidup sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan, memberikan kepada sesama, kepada negara apa yang wajib kita berikan kepada mereka sebagai haknya, dan juga kepada Allah apa yang menjadi hak Allah? Dan juga, apakah kita sudah hidup dalam iman, kasih dan pengharapan yang sejati?

Sabda Tuhan yang kita dengar dan renungkan dalam perayaan ekaristi ini seharusnya menyadarkan kita untuk melihat kembali kehidupan kita saat ini, untuk kembali beribadah secara benar kepada Allah, menjadi orang pilihan Allah yang menyebarkan kebaikan kepada sesama di sekitar kita seperti Raja Koresh, dan juga hidup dalam iman, harap dan kasih yang sejati kepada Allah seperti jemaat di Tesalonika. Itulah kasih kita kepada Allah dan kasih kita kepada sesama, yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik hidup kita sehari-hari. Dengan demikian, kita tidak perlu berpura-pura lagi seperti orang Farisi dan orang-orang Herodian, mempertanyakan apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan dalam hubungan kita dengan sesama dan Tuhan. “Berikanlah kepada pemerintah atau sesama apa yang wajib kamu berikan kepada mereka, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”.


Tuhan memberkati kita sekalian! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar