Menyelaraskan Kewajiban Kepada Allah (Hak
Allah)
Dan Kewajiban Kepada Sesama
(Hak Sesama)
(Pe. Matias da Costa,
SVD)
Bacaan I: Yes. 45:1.4-6
Bacaan II: 1Tes. 1:1-5b
Bacaan Injil: Mat. 22:15-21
Umat beriman yang
terkasih!
Allah memilih raja
Koresh supaya membebaskan umat Israel, seperti yang kita dengar dalam bacaan
pertama hari ini. Raja Koresh diurapi Allah, meskipun ia tidak mengenal Allah. Allah
memilih dia untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu membebaskan umat Israel dari
penindasan dan perbudakan. Raja Koresh adalah raja Persia, yang sekarang wilayahnya
kita kenal dengan nama Negara Iran.
Pada masanya, kekuasaan
raja Koresh ini sangat luas. Ia berhasil menaklukkan raja-raja di sekitarnya,
dan segala pekerjaannya berhasil karena diberkati Allah. Dengan jelas dan tegas
pula, raja Koresh kemudian mengakui bahwa Allahlah yang membuat dia berhasil
dan dia mencanangkan program pembebasan dan pengembalian orang Israel sebagai
bagian dari penggenapan janji Allah.
Raja
Koresh ini juga, oleh para ahli sejarah dunia, disebut sebagai raja atau penguasa
pertama yang kebijakannya ditetapkan sebagai piagam hak asasi manusia yang
pertama. Raja Koresh menulis kebijakannya sebagai berikut:
“Saya
adalah Koresh. Raja dunia. Saya memasuki Babel/Babylon… Saya tidak mengijinkan
seorang pun untuk meneror wilayah tersebut… Saya tetap memperhatikan kebutuhan
semua manusia dan semua tempat ibadahnya demi kesejahteraan mereka… Saya
mengakhiri kemalangan mereka. Allah yang agung telah memberikan seluruh wilayah
ke tanganku; wilayah-wilayah yang telah kujadikan tempat tinggal yang damai… Ketika
pasukanku dalam jumlah yang besar memasuki Babel/Babylon, saya tidak
mengijinkan seorangpun dari mereka untuk meneror penduduk… Saya membebaskan
semua budak…menghapus kemalangan dan perbudakan” (menunjuk pada kaum Yahudi dan
kelompok agama yang minoritas pada waktu itu di tindas di Babel).
Maklumat
raja Koresh ini ditulis dalam silinder yang terbuat dari tanah liat, yang
sekarang disimpan di museum Inggris.
Dalam sejarah
penyelamatan, Allah memang memilih raja-raja tertentu untuk memimpin atau pun
membebaskan bangsa Israel. Namun kisah raja Koresh ini sesungguhnya mau
mengajak kembali para penguasa yang tidak mengenal Allah untuk kembali
beribadah kepada Allah. Karena hanya Allah saja yang bisa memampukan mereka
untuk memimpin dengan baik, dengan bijaksana. Tanpa Allah mereka akan menjadi
raja atau penguasa yang lalim, penguasa yang tidak berperikemanusiaan.
***
Dalam bacaan Injil yang
diperdengarkan kepada kita hari ini, kita mendengar bagaimana orang-orang
Farisi bersepakat dengan orang-orang Herodian untuk mencobai Yesus, dengan
menanyakan, “Bolehkah membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”
Tentu pertanyaan ini
dimaksudkan untuk menjebak Yesus, tetapi Yesus memberikan jawaban seperti yang sudah
mereka sendiri ketahui, bahwa memang harus membayar pajak kepada Kaisar. Yesus
tidak melarang orang Yahudi untuk membayar pajak kepada Kaisar. Karena konteksnya
adalah umat Israel atau orang Yahudi pada waktu itu sedang berada di bawah
penguasaan bangsa lain, berada di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi. Umat
Israel atau orang Yahudi mengalami penjajahan sebagai hukuman atas dosa-dosa
mereka. Oleh sebab itu, mereka harus menanggung konsekuensinya, ketika mereka
tidak mau hidup menurut kehendak Tuhan.
Konteks umat Israel ini
tentu mengingatkan kita kembali kepada bacaan pertama tadi, yaitu ketika Allah
memilih raja Koresh, seorang raja dari bangsa lain untuk menguasai mereka. Hal
ini bisa saja terulang kembali pada masa Yesus, yaitu umat Israel pun berada di
bawah pendudukan kekaisaran Romawi, supaya mereka disadarkan untuk bertobat dan
kembali beribadah kepada Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Dan sebenarnya, dengan membayar pajak kepada
Kaisar pada waktu itu, hal ini tentu bisa menghindari penindasan yang lebih
keji lagi atas diri mereka.
Namun umat beriman yang
terkasih, tidak hanya sebatas itu saja Yesus menjawabi keingin-tahuan para
pencobanya. Yesus lebih jauh sebenarnya mau menyadarkan mereka untuk memberikan
juga kepada Allah apa yang wajib mereka berikan kepada Allah, “Berikanlah
kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa
yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Kalimat terakhir inilah yang sebenarnya menjadi
penekanan utama Yesus. Bahwa umat Israel boleh saja membayar pajak kepada
Kaisar, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah mereka harus memenuhi
kewajiban mereka yang utama kepada Allah, yaitu memberikan apa yang wajib
diberikan kepada Allah sebagai hak Allah.
Kita semua tentu
bertanya, apa sebenarnya yang dimaksud Yesus sebagai hak Allah atau apa yang
wajib diberikan kepada Allah, bukan saja hanya oleh umat Israel, tetapi juga
oleh kita semua yang menamakan diri sebagai anak-anak Allah atau orang Katolik.
Yang menjadi hak Allah
adalah bahwa kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati, dan memberikan
seluruh diri kita untuk mentaati seluruh perintah-Nya sebagai manifestasi dari
kasih kita kepada Allah. Dan pemberian kepada Allah ini adalah merupakan sebuah
kewajiban (apa yang harus manusia beri kepada Allah). Dari sisi Allah, Dia
mempunyai hak untuk dikasihi dan ditaati, karena Dia adalah Pencipta kita dan
rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera dan keselamatan. Sedangkan dari
sisi manusia, mengasihi Tuhan dan menjalankan semua perintah-Nya adalah
merupakan suatu kewajiban, atau lebih tepatnya merupakan sebuah perintah yang
harus ditaati atas dasar kasih. Bukan hanya sekadar aturan, tetapi sebagai
ungkapan terima kasih kita kepada Allah yang sudah berkenan mencipta dan
memelihara kehidupan kita.
Umat beriman yang
terkasih!
Ajaran Tuhan Yesus ini,
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar”,
menunjukkan juga bahwa tiap-tiap orang mempunyai kewajiban terhadap Negara dan
ini tidak bertentangan dengan pendirian orang Kristen (kita ingat brosur atau
leaflet dari Dirjen Perpajakan yang menulis, “Yesus juga membayar pajak” untuk
menyadarkan setiap wajib pajak Kristen untuk memenuhi kewajibannya). Sebab,
kekuasaan suatu pemerintahan diberikan oleh Allah demi kesejahteraan manusia.
Namun, di samping kewajiban membayar pajak kepada Negara, baik rakyat maupun
pemerintah sebenarnya memiliki kewajiban yang lebih besar lagi, yaitu
memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.
***
Dalam bacaan kedua hari
ini, kita juga mendengar bagaimana St. Paulus mengungkapkan kepuasan dan rasa
syukurnya atas keberadaan jemaat di Tesalonika. Setidaknya ada 3 hal yang dia
syukuri dari jemaat itu, yaitu pekerjaan iman mereka, usaha kasih mereka, dan
ketekunan pengharapan mereka kepada Tuhan Yesus Kristus. Frasa atau istilah
“pekerjaan iman”, “usaha kasih”, dan “ketekunan pengharapan” itu menunjukkan
bahwa iman, kasih dan pengharapan jemaat Tesalonika bukanlah iman, kasih, dan
pengharapan palsu, melainkan iman, kasih dan pengharapan yang sungguh-sungguh
nyata dan sejati. Kenyataan itulah yang membuat St. Paulus yakin bahwa Allah
telah memilih mereka sebagai umat-Nya, karena mereka telah mengamalkan hidup
sebagai jemaat Allah yang baik, yang bukan hanya karena mengusahakan
kesejahteraan hidup bersamanya sendiri, tetapi juga telah menjalankan
kewajibannya, memberikan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah,
yaitu mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan penuh iman dan harap.
***
Bagaimana dengan
kehidupan kita? Dalam kehidupan berparoki, kehidupan menggereja, bermasyarakat dan
bernegara. Apakah kita sudah hidup sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan,
memberikan kepada sesama, kepada negara apa yang wajib kita berikan kepada
mereka sebagai haknya, dan juga kepada Allah apa yang menjadi hak Allah? Dan juga,
apakah kita sudah hidup dalam iman, kasih dan pengharapan yang sejati?
Sabda Tuhan yang kita dengar
dan renungkan dalam perayaan ekaristi ini seharusnya menyadarkan kita untuk
melihat kembali kehidupan kita saat ini, untuk kembali beribadah secara benar
kepada Allah, menjadi orang pilihan Allah yang menyebarkan kebaikan kepada
sesama di sekitar kita seperti Raja Koresh, dan juga hidup dalam iman, harap
dan kasih yang sejati kepada Allah seperti jemaat di Tesalonika. Itulah kasih
kita kepada Allah dan kasih kita kepada sesama, yang tidak dapat dipisahkan
dalam praktik hidup kita sehari-hari. Dengan demikian, kita tidak perlu berpura-pura
lagi seperti orang Farisi dan orang-orang Herodian, mempertanyakan apa yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan dalam hubungan kita dengan sesama dan Tuhan.
“Berikanlah kepada pemerintah atau sesama apa yang wajib kamu berikan kepada mereka,
dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”.
Tuhan memberkati kita
sekalian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar