Hari Minggu Biasa XXX, Tahun A

Belajarlah Mengasihi
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Kel. 22:21-27
Bacaan II: 1Tes. 1:5c-10
Bacaan Injil: Mat. 22:34-40

Umat beriman yang terkasih!
Ada sebuah kutipan bijak, yang coba saya ambil untuk memperkaya pesan dari bacaan-bacaan suci yang diperdengarkan kepada kita hari ini. Kata bijak itu berasal dari seorang pemimpin spiritual dari Tibet, yaitu Dalai Lama XIV. Dia mengatakan begini, “Jika kamu ingin orang lain bahagia, belajarlah mengasihi. Jika kamu ingin bahagia, belajarlah mengasihi”.
“Belajarlah mengasihi”, itulah kata kunci kebahagiaan, yang bukan hanya saja untuk membahagiakan orang lain, tetapi juga sebenarnya menjadi kunci kebahagiaan diri sendiri. Orang yang bahagia adalah mereka yang di dalam hidupnya selalu belajar untuk mengasihi.
Mengapa perlu untuk “selalu belajar mengasihi”? Karena kata mengasihi ini bisa saja mudah untuk diucapkan, seperti anak muda yang sedang jatuh cinta, mengatakan kepada kekasihnya, “aku mengasihimu”, tetapi dalam kenyataannya belum tentu sepenuh hati. Apalagi kalau cintanya masih segi-tiga, segi-empat, atau segi-lima, maka kata-kata tadi, “aku mengasihimu” hanyalah omong kosong alias bohong. Oleh karena itu, untuk bisa mengasihi, kita butuh belajar. Artinya, butuh bertindak terus-menerus untuk memperlihatkan kasih itu, bukan asal omong. Dan tindakan kasih itu harus berlangsung seumur hidup, sepanjang waktu, karena itu butuh kesetiaan untuk mengamalkannya. Bagi mereka yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian.
“Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah, dan terlalu pendek bagi yang bahagia. Tapi bagi yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian”
Time is too slow for those who wait, too swift for those who fear, too long for those who grieve, too short for those who rejoice. But for those who love, time is not. (Henry van Dyke, 1852-1933)
***
Dalam bacaan pertama hari ini, kita mendengar bagaimana Tuhan memperingatkan umat Israel untuk tidak menindas orang asing, atau janda, atau anak yatim. Pesan Tuhan ini dimaksudkan supaya umat Israel belajar mengasihi sesamanya, seperti Tuhan sendiri yang sudah terlebih dahulu mengasihi mereka dan membawa mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Peringatan Tuhan jelas, kalau mereka tidak mengasihi sesamanya, murka Tuhan akan menimpa mereka.
Dalam bacaan Injil tadi, kita mendengar lagi bagaimana orang Israel, yang diwakili oleh orang-orang Farisi mau mencobai Yesus dengan menanyakan hukum manakah yang terbesar dalam hukum Taurat. Jawaban Yesus sebenarnya seperti yang sudah mereka ketahui, yaitu bahwa harus mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Dan hukum yang sama dengan itu, ialah mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.
Jawaban Yesus ini sekilas terlihat ada perintah ganda untuk mengasihi, yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Tetapi dalam praksisnya perintah itu sebenarnya adalah sebuah tindakan tunggal dalam mengasihi. Artinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa saya mengasihi Allah, tetapi mengabaikan sesama kita. Atau kita mengatakan saya mengasihi sesama, tetapi memungkiri kehadiran Allah dalam hidup kita. Mengasihi Allah dan sesama adalah satu paket tindakan. Mengasihi yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain.   

 Umat beriman yang terkasih!
            Untuk bisa mengamalkan hukum atau perintah Tuhan ini, maka sekali lagi kita butuh “belajar mengasihi”. Kita yang hadir di sini, yang sudah setia mengikuti perayaan ekaristi pada hari Minggu atau selalu menghadiri doa bersama dan tidak alpa juga berdoa pribadi (berkomunikasi dengan Tuhan), tentu semua itu kita lakukan karena kita mengasihi Tuhan atau kita mau menunjukkan kasih kita kepada Tuhan. Tindakan atau praktek ini sudah benar. Tuhan tahu isi hati kita. Hanya saja pesan Tuhan seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama tadi, bahwa kita juga harus mengasihi sesama kita, entah itu dia anggota keluarga kita atau tetangga kita atau orang asing, sudahkah kita juga mengasihi mereka?
            Rasanya secara ritual, mudah saja bagi kita untuk mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan. Tetapi dalam praksis, justru yang lebih sulit adalah ketika Tuhan meminta kita untuk mengasihi juga sesama di sekitar kita sama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Kadang justru hukum atau perintah ini yang sulit untuk kita amalkan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
            Pertama, karena kita terlalu ingat diri, ingat kepentingan atau keselamatan diri  kita sendiri. Yang penting saya percaya kepada Tuhan, saya rajin ke Gereja, saya rajin berdoa, Tuhan pasti senang dengan saya. Terserah mereka yang lain mau buat apa, saya tidak peduli. Saya tidak suka dengan mereka atau saya benci mereka. Benarkah Tuhan sudah senang dengan tingkah laku kita semacam ini? Pasti tidak! Sebab seperti kata St. Yohanes dalam suratnya yang pertama, “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah”, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta/pembohong, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya (1 Yoh. 4:20).
            Kedua, karena kita tidak mau atau tidak setia “belajar mengasihi”. Namanya juga belajar, berarti kita setiap hari dituntut untuk mengamalkan paling kurang satu atau dua perbuatan baik yang bisa kita lakukan di sekitar lingkungan hidup kita, di dalam keluarga atau dalam perjumpaan dengan tetangga atau sesama di sekitar kita. Lebih banyak lagi perbuatan baik yang bisa kita lakukan, tentu lebih baik lagi. Tetapi, kalau proses belajar mengasihi tiap hari ini kita lalaikan atau kita abaikan, maka dengan sendirinya kita gagal mentaati hukum Tuhan. Kita gagal mengasihi Tuhan dan sesama.  
***
Marilah kita coba belajar dari kehidupan St. Paulus dan jemaat di Tesalonika, sebagaimana yang kita dengar dalam bacaan kedua tadi. St. Paulus bekerja demi kepentingan jemaat di Tesalonika, artinya ia telah belajar berbuat baik sebagai tanda kasihnya kepada jemaat itu, sehingga jemaat di Tesalonika pun dapat bertumbuh dalam iman dan menjadi teladan bagi semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya karena perbuatan baik mereka.
Kita pun dalam lingkungan hidup kita, di dalam keluarga, dalam hidup bermasyarakat dan berparoki, kita hendaknya terus belajar mengasihi melalui perbuatan-perbuatan baik kita. Ada banyak cara untuk menunjukkan perbuatan baik itu. Semoga, dengan pertolongan rahmat Tuhan, kita bisa terus belajar mengasihi Tuhan dan sesama lewat perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan sehari-hari.


Tuhan memberkati kita sekalian!

Hari Minggu Biasa XXIX, Tahun A

Menyelaraskan Kewajiban Kepada Allah (Hak Allah) 
Dan Kewajiban Kepada Sesama (Hak Sesama)
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Yes. 45:1.4-6
Bacaan II: 1Tes. 1:1-5b
Bacaan Injil: Mat. 22:15-21

Umat beriman yang terkasih!
Allah memilih raja Koresh supaya membebaskan umat Israel, seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini. Raja Koresh diurapi Allah, meskipun ia tidak mengenal Allah. Allah memilih dia untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu membebaskan umat Israel dari penindasan dan perbudakan. Raja Koresh adalah raja Persia, yang sekarang wilayahnya kita kenal dengan nama Negara Iran.

Pada masanya, kekuasaan raja Koresh ini sangat luas. Ia berhasil menaklukkan raja-raja di sekitarnya, dan segala pekerjaannya berhasil karena diberkati Allah. Dengan jelas dan tegas pula, raja Koresh kemudian mengakui bahwa Allahlah yang membuat dia berhasil dan dia mencanangkan program pembebasan dan pengembalian orang Israel sebagai bagian dari penggenapan janji Allah.

Raja Koresh ini juga, oleh para ahli sejarah dunia, disebut sebagai raja atau penguasa pertama yang kebijakannya ditetapkan sebagai piagam hak asasi manusia yang pertama. Raja Koresh menulis kebijakannya sebagai berikut:
“Saya adalah Koresh. Raja dunia. Saya memasuki Babel/Babylon… Saya tidak mengijinkan seorang pun untuk meneror wilayah tersebut… Saya tetap memperhatikan kebutuhan semua manusia dan semua tempat ibadahnya demi kesejahteraan mereka… Saya mengakhiri kemalangan mereka. Allah yang agung telah memberikan seluruh wilayah ke tanganku; wilayah-wilayah yang telah kujadikan tempat tinggal yang damai… Ketika pasukanku dalam jumlah yang besar memasuki Babel/Babylon, saya tidak mengijinkan seorangpun dari mereka untuk meneror penduduk… Saya membebaskan semua budak…menghapus kemalangan dan perbudakan” (menunjuk pada kaum Yahudi dan kelompok agama yang minoritas pada waktu itu di tindas di Babel). 
Maklumat raja Koresh ini ditulis dalam silinder yang terbuat dari tanah liat, yang sekarang disimpan di museum Inggris.

Dalam sejarah penyelamatan, Allah memang memilih raja-raja tertentu untuk memimpin atau pun membebaskan bangsa Israel. Namun kisah raja Koresh ini sesungguhnya mau mengajak kembali para penguasa yang tidak mengenal Allah untuk kembali beribadah kepada Allah. Karena hanya Allah saja yang bisa memampukan mereka untuk memimpin dengan baik, dengan bijaksana. Tanpa Allah mereka akan menjadi raja atau penguasa yang lalim, penguasa yang tidak berperikemanusiaan.
 ***
Dalam bacaan Injil yang diperdengarkan kepada kita hari ini, kita mendengar bagaimana orang-orang Farisi bersepakat dengan orang-orang Herodian untuk mencobai Yesus, dengan menanyakan, “Bolehkah membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”

Tentu pertanyaan ini dimaksudkan untuk menjebak Yesus, tetapi Yesus memberikan jawaban seperti yang sudah mereka sendiri ketahui, bahwa memang harus membayar pajak kepada Kaisar. Yesus tidak melarang orang Yahudi untuk membayar pajak kepada Kaisar. Karena konteksnya adalah umat Israel atau orang Yahudi pada waktu itu sedang berada di bawah penguasaan bangsa lain, berada di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi. Umat Israel atau orang Yahudi mengalami penjajahan sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Oleh sebab itu, mereka harus menanggung konsekuensinya, ketika mereka tidak mau hidup menurut kehendak Tuhan.

Konteks umat Israel ini tentu mengingatkan kita kembali kepada bacaan pertama tadi, yaitu ketika Allah memilih raja Koresh, seorang raja dari bangsa lain untuk menguasai mereka. Hal ini bisa saja terulang kembali pada masa Yesus, yaitu umat Israel pun berada di bawah pendudukan kekaisaran Romawi, supaya mereka disadarkan untuk bertobat dan kembali beribadah kepada Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Dan  sebenarnya, dengan membayar pajak kepada Kaisar pada waktu itu, hal ini tentu bisa menghindari penindasan yang lebih keji lagi atas diri mereka.  

Namun umat beriman yang terkasih, tidak hanya sebatas itu saja Yesus menjawabi keingin-tahuan para pencobanya. Yesus lebih jauh sebenarnya mau menyadarkan mereka untuk memberikan juga kepada Allah apa yang wajib mereka berikan kepada Allah, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Kalimat terakhir inilah yang sebenarnya menjadi penekanan utama Yesus. Bahwa umat Israel boleh saja membayar pajak kepada Kaisar, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah mereka harus memenuhi kewajiban mereka yang utama kepada Allah, yaitu memberikan apa yang wajib diberikan kepada Allah sebagai hak Allah.

Kita semua tentu bertanya, apa sebenarnya yang dimaksud Yesus sebagai hak Allah atau apa yang wajib diberikan kepada Allah, bukan saja hanya oleh umat Israel, tetapi juga oleh kita semua yang menamakan diri sebagai anak-anak Allah atau orang Katolik.

Yang menjadi hak Allah adalah bahwa kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati, dan memberikan seluruh diri kita untuk mentaati seluruh perintah-Nya sebagai manifestasi dari kasih kita kepada Allah. Dan pemberian kepada Allah ini adalah merupakan sebuah kewajiban (apa yang harus manusia beri kepada Allah). Dari sisi Allah, Dia mempunyai hak untuk dikasihi dan ditaati, karena Dia adalah Pencipta kita dan rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera dan keselamatan. Sedangkan dari sisi manusia, mengasihi Tuhan dan menjalankan semua perintah-Nya adalah merupakan suatu kewajiban, atau lebih tepatnya merupakan sebuah perintah yang harus ditaati atas dasar kasih. Bukan hanya sekadar aturan, tetapi sebagai ungkapan terima kasih kita kepada Allah yang sudah berkenan mencipta dan memelihara kehidupan kita.

Umat beriman yang terkasih!
Ajaran Tuhan Yesus ini, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar”, menunjukkan juga bahwa tiap-tiap orang mempunyai kewajiban terhadap Negara dan ini tidak bertentangan dengan pendirian orang Kristen (kita ingat brosur atau leaflet dari Dirjen Perpajakan yang menulis, “Yesus juga membayar pajak” untuk menyadarkan setiap wajib pajak Kristen untuk memenuhi kewajibannya). Sebab, kekuasaan suatu pemerintahan diberikan oleh Allah demi kesejahteraan manusia. Namun, di samping kewajiban membayar pajak kepada Negara, baik rakyat maupun pemerintah sebenarnya memiliki kewajiban yang lebih besar lagi, yaitu memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.
***
Dalam bacaan kedua hari ini, kita juga mendengar bagaimana St. Paulus mengungkapkan kepuasan dan rasa syukurnya atas keberadaan jemaat di Tesalonika. Setidaknya ada 3 hal yang dia syukuri dari jemaat itu, yaitu pekerjaan iman mereka, usaha kasih mereka, dan ketekunan pengharapan mereka kepada Tuhan Yesus Kristus. Frasa atau istilah “pekerjaan iman”, “usaha kasih”, dan “ketekunan pengharapan” itu menunjukkan bahwa iman, kasih dan pengharapan jemaat Tesalonika bukanlah iman, kasih, dan pengharapan palsu, melainkan iman, kasih dan pengharapan yang sungguh-sungguh nyata dan sejati. Kenyataan itulah yang membuat St. Paulus yakin bahwa Allah telah memilih mereka sebagai umat-Nya, karena mereka telah mengamalkan hidup sebagai jemaat Allah yang baik, yang bukan hanya karena mengusahakan kesejahteraan hidup bersamanya sendiri, tetapi juga telah menjalankan kewajibannya, memberikan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah, yaitu mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan penuh iman dan harap.
***
Bagaimana dengan kehidupan kita? Dalam kehidupan berparoki, kehidupan menggereja, bermasyarakat dan bernegara. Apakah kita sudah hidup sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan, memberikan kepada sesama, kepada negara apa yang wajib kita berikan kepada mereka sebagai haknya, dan juga kepada Allah apa yang menjadi hak Allah? Dan juga, apakah kita sudah hidup dalam iman, kasih dan pengharapan yang sejati?

Sabda Tuhan yang kita dengar dan renungkan dalam perayaan ekaristi ini seharusnya menyadarkan kita untuk melihat kembali kehidupan kita saat ini, untuk kembali beribadah secara benar kepada Allah, menjadi orang pilihan Allah yang menyebarkan kebaikan kepada sesama di sekitar kita seperti Raja Koresh, dan juga hidup dalam iman, harap dan kasih yang sejati kepada Allah seperti jemaat di Tesalonika. Itulah kasih kita kepada Allah dan kasih kita kepada sesama, yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik hidup kita sehari-hari. Dengan demikian, kita tidak perlu berpura-pura lagi seperti orang Farisi dan orang-orang Herodian, mempertanyakan apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan dalam hubungan kita dengan sesama dan Tuhan. “Berikanlah kepada pemerintah atau sesama apa yang wajib kamu berikan kepada mereka, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”.


Tuhan memberkati kita sekalian! 

Hari Minggu Biasa XXVIII, Tahun A

Tuhan Mengundang Kita Semua Kepada Keselamatan

(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Yes. 25:6-10a
Bacaan II: Flp. 4:12-14.19-20
Bacaan Injil: Mat. 22:1-14

Umat beriman yang terkasih!
Pesta adalah sebuah perayaan dengan perjamuan makan-minum, dengan suasana yang penuh suka-ria, baik untuk merayakan sesuatu hal maupun hanya sekadar bersenang-senang saja dengan banyak orang. Namun, sesuatu yang dikatakan dengan istilah pesta tidak selalu merupakan sebuah acara perayaan dengan sajian makanan dan minuman, tetapi juga bisa dalam bentuk suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang. Misalnya, pesta olahraga, pesta demokrasi-pesta rakyat.

Kita semua tentu senang kalau ada pesta, apalagi bila kita diundang secara khusus untuk menghadiri pesta yang sifatnya syukuran atau pesta yang di dalamnya ada perjamuan “mami” (makan-minum), dan juga ada acara “papi” (patah pinggang, alias menari/dansa). Tentu kita akan lebih bersemangat, bersuka-ria dan merasakan adanya penghiburan dalam kebersamaan di ruang pesta tersebut.

Dalam bacaan pertama hari ini, nabi Yesaya juga menubuatkan kepada kita bahwa Tuhan semesta alam akan menghidangkan bagi segala bangsa suatu jamuan pesta, dengan masakan yang mewah, yaitu lemak dan sumsum, dan dengan minuman anggur yang terbaik, yaitu anggur tua yang disaring endapannya. Dan pada saat itu, hanya akan ada suka-cita/suka-ria, karena penderitaan dan maut telah dihapus oleh Tuhan semesta alam, dan kita akan hidup selamanya dalam perlindungan Tuhan.

Gambaran tentang perjamun Tuhan semesta alam ini, kemudian ditegaskan kembali oleh Yesus dalam bacaan Injil yang baru saja diperdengarkan kepada kita. Yesus berbicara kepada para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi dengan memakai perumpamaan, “Hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan/pesta nikah untuk anaknya”. Namun, Yesus melalui perumpamaan itu berusaha menjelaskan lebih lanjut bagaimana perjamuan pesta yang sudah dipersiapkan oleh sang raja atau oleh Tuhan semesta alam itu ditanggapi oleh para undangannya, ditanggapi oleh umat pilihan-Nya, yaitu umat Israel. Ternyata, mereka yang sudah diundang secara khusus itu tidak mau menghadiri jamuan pesta Tuhan tersebut.

Bahkan undangan yang disampaikan untuk kedua kalinya melalui para hambanya atau para nabi pun tidak dihiraukan. Ada juga yang mungkin merasa terganggu, akhirnya menyiksa dan membunuh para hamba atau para nabi yang diutus Tuhan. Maka wajarlah sang raja atau Tuhan kemudian menjadi murka dan membinasakan para pembunuh itu serta membakar kota mereka.

Bagian pertama dari perumpamaan ini tentu ditujukan Yesus kepada orang-orang Yahudi, kepada para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi,  sebagai para undangan yang jahat, yang sudah dipilih Tuhan sebagai umat-Nya, namun tidak hidup seturut kehendak Tuhan. Oleh karena itu, “sang raja yang murka dan membinasakan para pembunuh itu serta membakar kota mereka” adalah gambaran bagaimana umat Israel kemudian mengalami penindasan oleh bangsa-bangsa lain sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Dan hal itu memang terjadi! Pada tahun 70 masehi, kota Yerusalem dihancurkan oleh tentara Romawi.

Meskipun sang raja atau Tuhan sendiri kecewa dengan umat Israel, namun Tuhan tidak berkecil hati. Ia menyuruh lagi para hamba-Nya untuk pergi ke sudut-sudut jalan dan mengundang setiap orang yang dijumpai untuk datang ke perjamuan pesta nikah yang sudah dipersiapkan-Nya. Maka, ada yang bersedia hadir, orang baik maupun orang jahat, memasuki pesta nikah itu. Ini adalah gambaran bahwa undangan Tuhan kepada keselamatan tidak lagi sebatas ditujukan kepada umat Israel, melainkan untuk semua orang, dari segala suku, bangsa dan bahasa. Mereka yang datang ke pesta itu telah menanggapi undangan Tuhan dan dengan demikian dipersilahkan menikmati perjamuan pesta yang telah disediakan, yaitu perjamuan keselamatan yang diadakan oleh Tuhan semesta alam sendiri.

Umat beriman yang terkasih!
Pada bagian akhir dari perumpamaan dalam injil hari ini juga, Yesus menjelaskan lebih lanjut bahwa sang raja menegur dan menghukum salah seorang dari para undangan yang tidak mengenakan pakaian pesta.

Mengenakan pakaian pesta adalah sebuah kewajiban yang harus diperhatikan oleh seseorang ketika diundang ke sebuah perjamuan pesta. Ini adalah tradisi, tata krama bagi siapa saja yang diundang ke sebuah perjamuan pesta. Dengan mengenakan pakaian pesta, hal ini menunjukkan penghargaan terhadap tuan pesta dan sekaligus membahasakan bahwa yang diundang itu sungguh-sungguh mempersiapkan diri dan mau menghadiri perjamuan pesta tersebut. Salah seorang undangan yang ditegur dan dihukum karena tidak memakai pakaian pesta oleh sang raja adalah gambaran tentang ketidak-siap-sedia-an pribadi itu masuk dalam perjamuan pesta. Oleh karena itu, ia tidak layak untuk turut serta dalam perjamuan pesta tersebut. 

Dengan demikian, Tuhan Yesus pun mengakhiri perumpamaan yang disampaikan-Nya dengan sebuah kesimpulan, bahwa banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih. Konteksnya adalah banyak yang diundang kepada keselamatan, namun banyak pula yang menolak undangan tersebut, bahkan ada yang tidak mempersiapkan diri secara baik, sehingga mereka sendiri membuat diri tidak layak untuk masuk dalam perjamuan keselamatan tersebut. Sisanya hanya sebagian kecil saja orang yang mau menanggapi undangan keselamatan Tuhan, dan ini termasuk orang jahat yang mau bertobat dan kembali ke jalan hidup yang benar. Mereka pun layak masuk dalam pesta perjamuan keselamatan Tuhan.  

Menanggapi sabda Tuhan yang kita dengar dalam perayaan ini, kita disadarkan bahwa Tuhan mengundang kita semua untuk turut hadir dalam perjamuan keselamatan yang disediakan sendiri oleh-Nya. Undangan Tuhan ini menyapa kita lewat sabda-Nya yang kita dengar di dalam Kitab Suci, melalui perintah-perintah-Nya agar kita berbuat baik, rajin berdoa, aktif dalam hidup menggereja, bermurah hati kepada sesama, dan juga melalui larangan-larangan-Nya agar kita tidak masuk dalam pencobaan dan melakukan perbuatan dosa.

Tuhan pada dasarnya mengundang kita dengan banyak cara, namun pertanyaan untuk kita, apakah kita menanggapi undangan Tuhan tersebut dengan hati tulus ikhlas? Atau kita seperti mereka yang sudah diundang Tuhan kepada keselamatan, namun menolak hadir karena lebih mementingkan hal-hal duniawi: memikirkan ladang atau usaha kita untuk menghidupi tubuh yang fana ini, tetapi pada sisi yang lain melalaikan keselamatan kekal jiwa kita sendiri? Atau kita seperti salah seorang dari para undangan itu, yang tidak mengenakan pakaian pesta saat menghadiri perjamuan Tuhan, artinya kita tidak mempersiapkan diri secara baik, menyiapkan hati untuk menghadap Tuhan, sehingga kita pada akhirnya membuat diri kita sendiri menjadi tidak layak untuk turut serta dalam perjamuan keselamatan Tuhan?

St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, menceritakan bagaimana dirinya sendiri berusaha menanggapi undangan Tuhan itu lewat hidup dan karyanya dalam mewartakan injil. Ia sudah merasakan berbagai perkara hidup, yang mungkin juga pernah kita rasakan dalam hidup harian kita, seperti perkara hidup dalam kekurangan maupun dalam kelimpahan, hidup dalam kekenyangan maupun dalam kelaparan, namun semua perkara itu ia hayati dan ia tanggung dalam persatuan dengan kehendak Tuhan, yang mengundangnya untuk masuk dalam perjamuan keselamatan.

Kita pun, yang sudah dibaptis sebagai anak-anak Allah, diundang untuk hidup dalam persatuan yang erat dengan kehendak Tuhan. Segala perkara yang kita jumpai dalam hidup ini, pengalaman baik atau buruk, hendaknya tidak menggoyahkan iman kita untuk selalu berserah diri dan percaya bahwa Tuhanlah penjamin hidup kita yang utama. Kita hendaknya siap sedia bekerja-sama dengan kehendak Tuhan, apa yang Tuhan ingin kita perbuat di dalam hidup ini, sehingga dengan demikian kita memiliki kekuatan yang kita butuhkan untuk mengarungi peziarahan hidup di dunia ini, dan pada akhirnya kita pun bisa masuk dalam perjamuan keselamatan yang disediakan sendiri oleh Tuhan semesta alam.

Tuhan memberkati kita sekalian! 

Hari Minggu Biasa XXVII, Tahun A

Hidup Dalam Keadilan Dan Kebenaran
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Yes. 5:1-7
Bacaan II: Flp. 4:6-9
Bacaan Injil: Mat. 21:33-43


Umat beriman yang terkasih!

Tuhan dalam banyak kesempatan dan cara selalu berusaha mengingatkan kita, umat-Nya, untuk memperbaiki tingkah laku atau perbuatan kita yang seringkali menyimpang dari kehendak-Nya. 

Seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini, melalui nubuat nabi Yesaya, Tuhan menegur umat Israel, yang tak lain adalah kebun anggur-Nya sendiri, untuk bertobat dan memperbaiki cara hidup mereka yang sudah rusak dan menyimpang dari kehendak Allah. Dalam nyanyian yang isinya mengandung kiasan, namun sarat dengan sindiran dan ancaman itu, Tuhan menyatakan bahwa umat pilihan-Nya, umat Israel, sudah tidak lagi menghasilkan buah yang manis atau buah yang baik. Mereka, umat Israel, justru menghasilkan buah yang masam atau tidak enak. Buah semacam itu memang sangatlah tidak diharapkan oleh Sang Pemilik kebun anggur, yang tak lain adalah Tuhan sendiri. Buah masam atau tidak enak tersebut adalah perbuatan bangsa Israel yang telah menyimpang dari kehendak Allah. Padahal Tuhan sudah berusaha untuk merawat, memupuk, mengarahkan bangsa Israel, kebun anggur-Nya itu, untuk menghasilkan buah yang manis atau perbuatan yang baik. Namun hasilnya memang sungguh di luar dugaan, sangat mengecewakan hati Tuhan. 

Boleh dibilang, dalam situasi seperti ini Tuhan sepertinya merasa gagal panen atau gagal menghasilkan sesuatu yang baik dari apa yang sudah dipilih-Nya untuk dikerjakan. Seperti kita juga yang kadang sudah berusaha bekerja maksimal di kebun kita sendiri atau di kantor atau di mana pun, untuk menghasilkan sesuatu yang baik, namun hasil yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Tentu kita akan merasa sakit hati. Kita merasa kecewa, mempertanyakan, mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Padahal semua usaha sudah kita curahkan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang baik itu. Demikian pun Tuhan pada masa itu sungguh kecewa dengan sikap dan perbuatan bangsa Israel karena umat yang sudah dipilih dan dirawat-Nya untuk menghasilkan sesuatu yang baik, ternyata tidak menghasilkan buah/perbuatan yang baik. Yang Tuhan harapkan dari umat Israel adalah supaya mereka hidup dalam KEADILAN dan KEBENARAN. Namun yang terjadi justru sebaliknya, umat Israel hidup dalam KELALIMAN, KEONARAN dan KEKERASAN sebagai gambaran buah yang masam, yang sangat tidak diharapkan oleh Tuhan.

Umat beriman yang terkasih!
Situasi yang ditampilkan dalam bacaan pertama tadi, sepertinya masih terus berlanjut pada zaman Yesus. Bahwa umat Israel, umat yang sudah dipilih Tuhan, yang sudah dirawat, untuk menghasilkan buah/perbuatan baik, ternyata masih saja hidup dalam kelaliman, keonaran dan kekerasan. Bahkan yang menjadi provokatornya adalah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi, yang notabene adalah orang-orang religius, pandai, dan tahu secara persis apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup mereka, yatu supaya mereka bisa mengusahakan hidup dalam keadilan dan kebenaran. Namun, yang dipertontonkan oleh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi justru sebaliknya. Mereka bahkan menolak Putera Allah, Tuhan Yesus sendiri, yang berusaha menegur cara hidup mereka yang salah. Bahkan setelah mereka menyadari bahwa perumpamaan yang Yesus sampaikan sebenarnya ditujukan kepada mereka, sebagai penggarap-penggarap/pekerja-pekerja kebun anggur yang jahat, mereka kemudian berusaha untuk membunuh Yesus.

Sifat atau cara hidup umat Israel yang mengecewakan hati Tuhan ini adalah gambaran umum tentang perilaku hidup kita juga, yang seringkali tidak menghasilkan buah/perbuatan yang baik di mata Tuhan. Sadar atau tidak, kita yang sudah dibaptis menjadi anak-anak Allah ini seringkali berlaku atau berbuat tidak sesuai dengan predikat atau status kita sebagai anak-anak Allah. Kita seringkali berbuat sesuka hati kita, lupa Tuhan, yang sudah menganugerahkan hidup kepada kita dan mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya. Hidup sebagai anak-anak Allah, sebagai orang Kristen (orangnya Kristus) seharusnya menyadarkan kita untuk mengutamakan kehendak Allah di dalam hidup kita, yaitu hidup dalam Keadilan dan Kebenaran, dan bukannya hidup dalam kelaliman, keonaran dan kekerasan. 

Hidup dalam Keadilan dan Kebenaran berarti kita dituntut untuk berpikir dan berbuat secara tepat di dalam kehidupan ini, entah itu dalam hidup menggereja maupun dalam hidup sosial kita: hidup berkeluarga, hidup bermasyarakat dan hidup berbangsa. Berpikir dan berbuat secara tepat adalah pengetahuan tentang apa yang harus saya terima (hak saya) dan apa yang harus saya berikan (kewajiban saya) dalam kehidupan ini.

Sebagai orang Katolik, kita tentu memiliki hak untuk memohon berkat Tuhan dalam hidup ini. Apalagi kita sebagai anak-anak Allah, kita pasti membutuhkan perlindungan dan rejeki tiap hari untuk pemenuhan kebutuhan hidup kita. Dan Tuhan pasti menganugerahkan-Nya kepada kita. Dari bangun pagi dan sampai tidur kembali pada malam hari, kita sebenarnya sudah menerima hak-hak kita, yang dianugerahkan sendiri oleh Tuhan kepada kita. Hanya saja pertanyaannya, apakah kita sadar atau tidak bahwa rahmat kehidupan yang kita terima tiap hari itu sebenarnya berasal dari Allah sendiri?

Di samping menuntut hak yang harus kita terima, sebagai orang Katolik juga kita memiliki kewajiban yang harus diberikan kepada Allah. Kewajiban itu adalah kita mentaati apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita dalam kehidupan ini. Kita harus membuka hati, menerima Tuhan hadir di tengah-tengah kita, untuk menjamin hidup kita tiap hari. Biasanya kewajiban ini yang menjadi masalah besar bagi kita. Kita lebih senang menuntut hak kita, bahwa Tuhan harus menganugerahkan ini-itu kepada kita, tetapi setelah kita mendapatkan semua yang kita butuhkan itu, kita cepat sekali melupakan kebaikan Tuhan. Kita menyangka semua yang kita peroleh dalam hidup ini hanya semata-mata dari hasil jerih-payah kita sendiri. Kita durhaka, tidak tahu mengucap syukur kepada Tuhan, malas berdoa, malas ke Gereja, malas berpartisipasi aktif dalam hidup menggereja, berparoki maupun dalam lingkungan umat basis kita. Padahal ini baru sebatas soal hak dan kewajiban kita dengan Tuhan, soal hubungan pribadi kita dengan Tuhan, soal iman kita. Apalagi soal hak dan kewajiban kita dalam hidup sosial: dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa? 

Secara sederhana, untuk bisa menilai bahwa seseorang itu berpikir dan berbuat secara tepat di dalam hidupnya, tahu hak dan kewajibannya dalam hidup sosial, kita cukup menilainya dari kualitas iman yang dimiliki, hubungan pribadinya dengan Tuhan. Orang yang sungguh-sungguh beriman, biasanya sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak lagi mementingkan dirinya sendiri, melainkan lebih mengutamakan kebaikan dan keselamatan orang lain. Baginya, hak yang patut diterimanya hanyalah kebahagiaan hidup, karena telah menjalankan kewajibannya menghasilkan buah/perbuatan baik dalam relasi dengan sesamanya, dengan keluarganya sendiri, dengan masyarakat di sekitarnya dan juga dengan siapa saja dalam lingkup hidup berbangsa. Itu saja

Oleh sebab itu, umat beriman yang terkasih, St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menasehati kita, agar kita berbuat yang benar, berbuat yang adil, berbuat yang suci, berbuat kebajikan yang patut dipuji, itulah yang harus kita pikirkan dan kita perbuat di dalam hidup ini. Hanya dengan cara itulah, Allah, sumber damai sejahtera, akan menyertai kita, menyertai hidup keluarga kita, menyertai hidup bermasyarakat kita, menyertai hidup berbangsa kita.

Marilah kita menanggapi sabda Tuhan yang telah kita dengar dalam perayaan ini, dengan hidup dalam Keadilan dan Kebenaran, memahami hak dan kewajiban kita, berpikir dan berbuat secara tepat, entah itu dalam hidup menggereja maupun dalam hidup sosial, sehingga damai sejahtera Allah selalu tinggal beserta kita. 

Tuhan memberkati kita sekalian!

Hari Minggu Biasa XXVI, Tahun A

Allah Berkenan Kepada Umat-Nya Yang Bertobat dan Setia Melakukan Perbuatan Baik
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Yeh. 18:25-28 
Bacaan II: Flp. 2:1-11 
Bacaan Injil: Yoh. 21:28-32 

Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sikap di dalam hidupnya. Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia dapat saja berbuat baik atau jahat. Manusia bisa saja takut akan Tuhan dengan mentaati kehendak-Nya, atau samasekali tidak takut akan Tuhan dan berbuat "semau gue" di dalam hidupnya. Sungguh, manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan sikap atau pilihan hidup, menjadi orang baik atau orang jahat. 

Dari pihak Allah, Ia akan tetap bersikap adil terhadap kita. Seperti kita dengar dalam bacaan pertama hari ini, tindakan Allah selalu tepat dalam mengadili setiap kebebasan pilihan hidup kita. Tetapi keadilan Allah itu penuh dengan kemurahan hati, tidak seperti pengadilan kita, manusia, yang mengadili hanya pada saat seseorang melakukan kesalahan dan seringkali kurang mengganjari pengampunan terhadap perubahan sikap atau nilai pertobatan seseorang. Pengadilan Allah yang murah hati selalu berpihak pada mereka yang lemah, yang berdosa, sehingga seperti kita dengar di dalam bacaan pertama tadi Tuhan bersabda, "Kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan serta kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya".

Demikian pun sebaliknya, bagi mereka yang sudah berusaha hidup dengan benar, hidup secara baik di mata Tuhan, diminta untuk tetap setia menghayati kabaikan hidupnya dan memancarkannya kepada sesama di sekitarnya, sehingga bisa menyelamatkan lebih banyak orang karena teladan hidup mereka. Bukannya, kemudian berbalik dan melakukan kecurangan, berbuat tidak benar sampai mati dalam keadaan berdosa. Mereka ini tentu, seperti sabda Tuhan, tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Itulah pegadilan atau tindakan Allah yang tepat. Ia akan mengganjari setiap perbuatan dan kebebasan pilihan hidup kita secara pantas.

Mungkin kadang kita tidak mampu memahami tindakan atau pengadilan Allah semacam ini. Namun bagi kita yang sudah berusaha hidup benar dengan mentaati kehendak-Nya, kita diminta untuk tetap setia dengan pola hidup kita. Kita tidak perlu protes atau iri hati terhadap gaya pengadilan Allah yang murah hati. Karena memang demikianlah misi penyelamatan Allah, yaitu tetap merangkul dan menyelamatkan kembali setiap orang berdosa yang mau bertobat dan kembali ke jalan hidup yang benar. 

Secara meyakinkan, gambaran tentang tindakan atau pengadilan Allah yang murah hati tersebut, ditegaskan kembali oleh Yesus, Putera Allah, sendiri seperti yang kita dengar dalam bacaan injil hari ini. 

Yesus mencela atau mengeritik imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi yang merasa diri sudah hidup benar, padahal hidup "semau gue" dan merasa tidak perlu lagi mendengar seruan pertobatan yang dimaklumkan oleh Yohanes Pembaptis. Kata-kata Yesus, kalau sungguh-sungguh kita cerna, sebenarnya sangat mempermalukan mereka,
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai, dan para pelacur akan mendahului kamu masuk Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi, pemungut-pemungut cukai dan para pelacur percaya kepadanya". 

Bayangkan saja kalau kita adalah salah satu dari imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi itu, yang merasa sudah hidup benar. Kita pasti akan merasa tersinggung, bahkan dendam dengan Yesus dan berusaha untuk membunuh-Nya. Tetapi itulah kebenaran yang mau diungkapkan Yesus kepada para imam dan tua-tua bangsa Yahudi itu, dan secara tidak langsung kepada kita juga yang saat ini mendengarkan sabda-Nya. Maksud dari Tuhan Yesus menyampaikan sabda ini adalah untuk mengingatkan setiap kita agar terus membarui diri dalam semangat pertobatan, dan bukannya merasa diri sudah hidup benar sendiri dan tidak memerlukan lagi pertobatan. Kita semua pada dasarnya adalah manusia lemah dan berdosa. Tidak ada satu pun dari antara kita yang tidak pernah melakukan kesalahan di dalam hidup ini. 

Perumpamaan tentang dua orang anak yang melakukan perintah bapaknya secara berbeda untuk pergi bekerja di kebun anggur:
-. Yang pertama/sulung menjawab, "iya", tetapi tidak pergi.
-. Yang kedua/bungsu menjawab, "tidak", tetapi kemudian menyesal dan akhirnya pergi bekerja di kebun anggur bapaknya, adalah juga gambaran tentang sikap kita masing-masing yang seringkali menanggapi secara berbeda Sabda Allah atau kehendak Tuhan di dalam hidup kita.

Ada di antara kita yang kadang terlihat serius mendengarkan Sabda Tuhan, tetapi kemudian tidak melaksanakannya. Tetapi ada juga yang terlihat kurang menghiraukan Sabda Tuhan, tetapi kemudian menyadari bahwa Sabda Tuhan atau kehendak Tuhan yang harus dihayatinya itu adalah demi kebaikan atau keselamatan hidupnya sendiri, mereka ini yang akhirnya bertobat dan hidup jauh lebih baik daripada kita yang terlihat pura-pura serius mendengarkan Sabda Tuhan.

Paus Fransiskus pernah mengeritik gaya hidup kita sebagai orang Kristen yang seringkali tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Paus Fransiskus berkata, "Jauh lebih baik mereka yang kita sebut tidak beragama atau ateis, tetapi hidupnya dipenuhi dengan perbuatan baik, daripada kita yang menamakan diri orang Kristen - orangnya Kristus, tetapi perilaku hidup kita jahat: penuh kebencian, melakukan korupsi, pembunuhan dan banyak tindakan kriminal lainnya".

Kita seharusnya bersikap seperti anak kedua atau anak bungsu dalam bacaan Injil tadi. Kita harus memiliki rasa sesal, mau bertobat, sehingga dengan kesadaran itu kita mau memperbaiki diri, berbuat yang benar, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat.

Itulah semangat pertobatan yang benar, yang bukan saja dalam kata-kata yang seringkali kita akui dalam perayaan ekaristi, "Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa...", tetapi juga harus ditunjukkan dalam perubahan sikap, perbuatan nyata mau bertobat dan memperbaiki diri. Semangat pertobatan model inilah yang sangat diperhitungkan dalam pengadilan Allah.

"Lebih baik orang berdosa bertobat dari kesalahannya dan kembali ke jalan hidup yang benar, daripada orang yang merasa diri benar sendiri dan kemudian menjadi sombong serta merasa tidak membutuhkan lagi Sabda Tuhan untuk mengoreksi hidupnya".

Untuk itu, saudara-saudari, umat beriman yang terkasih dalam Kristus, patutlah kita mencamkan nasihat St. Paulus dalam suratnya yang ditujukan kepada jemaat di Filipi, dalam bacaan kedua tadi, sebagai contoh praktis yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan pertobatan atau pembaruan hidup kita.

St. Paulus mengingatkan kita juga, "Hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau pujian sia-sia. Sebaliknya dengan rendah hati anggaplah orang lain lebih utama daripada dirimu sendiri".

Nasihat St. Paulus ini hendaknya menyadarkan kita untuk bersikap seperti Yesus sendiri, bersikap seperti Allah sendiri, yang selalu berpihak pada kebaikan dan keselamatan umat-Nya.

Jika kita sungguh orang Kristen, orangnya Kristus, kita yang sudah berusaha hidup baik hendaknya tidak menutup diri dan memperhatikan kepentingan diri kita sendiri.

Kita harus keluar dari diri kita sendiri, membawa kebaikan yang kita miliki, untuk dibagikan juga kepada orang lain, sesama di sekitar kita, sehingga mereka juga dapat merasakan berkat Tuhan yang tersalur melalui diri kita.

Perbuatan baik yang kita lakukan, sekecil apa pun, yang kita tunjukkan dengan hati tulus ikhlas, tidak pernah tidak berbuah apa pun untuk diri kita, untuk hidup kita.

Buah dari kebaikan yang kita perbuat, tentu yang utama bagi keselamatan kekal jiwa kita sendiri, dan juga yang tak kalah penting bagi kehidupan kita yang sementara di dunia ini, adalah kita bisa merasakan apa artinya kebahagiaan - Joyfull, karena kita bisa menjadikan hidup kita lebih bermakna, menjadi lebih berarti bagi orang lain, bagi sesama di sekitar kita.

Mungkin ada dari antara kita yang belum merasakan apa itu kebahagiaan dalam hidup ini. Penyebabnya sudah pasti, bahwa kita belum atau kurang berbuat baik dalam hidup ini.  Atau mungkin kita merasa sudah berbuat baik, tetapi tak kunjung bahagia juga. Masalah sebenarnya terletak pada motivasi kita saat melakukan perbuatan baik tersebut, yaitu kita masih punya banyak perhitungan, masih mengharapkan balas jasa dari orang yang kepadanya perbuatan baik itu kita tujukan.

Perbuatan baik yang benar adalah kita melakukannya secara tulus ikhlas, tanpa mengharapkan balas jasa apapun. Biarlah Tuhan sendiri yang tahu perbuatan baik apa yang kita lakukan dan pasti Tuhan akan mengganjari kita dengan kelimpahan berkat-Nya.

Saudara-saudari terkasih, marilah kita mengoreksi diri, menanggapi Sabda Tuhan yang sudah kita dengar dalam perayaan ini, dengan memperhatikan perilaku hidup kita, baik atau buruk, dan hendaknya kita terbuka hati untuk membarui diri secara terus-menerus dalam semangat pertobatan yang sejati, agar kita selamat baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Tuhan memberkati kita sekalian.