Epiphania Domini Dan
Pemberian Kita
(Pe. Matias da Costa,
SVD)
Bacaan I: Yes. 60:1-6
Bacaan II: Ef. 3:2-2a.5-6
Bacaan Injil: Mat. 2:1-12
Kata
Pengantar
Umat beriman yang
terkasih dalam Kristus!
Hari ini kita merayakan
Pesta atau Hari Raya Penampakan Tuhan/Epiphania
Domini. Kita sekalian diajak untuk menyambut Yesus, Penyelamat kita, yang
menampakkan diri di Betlehem 2017 tahun yang lalu. Meskipun kala itu Ia hanya
terbaring dalam sebuah palungan di kandang domba karena dosa penolakan manusia,
yang tidak sudi memberi tempat penginapan bagi kelahiranNya, namun kini kita
sekalian bisa merelakan penginapan hidup kita sebagai tempat bersemayamNya.
Marilah kita menghadap, bersujud dan menyembah Dia dalam perayaan Ekaristi
Kudus ini, dengan terlebih dahulu memohon ampun atas segala kelalaian dan dosa
penolakan kita juga; kebutaan mata hati kita yang seringkali tidak mampu
melihat penampakan kemuliaanNya di dalam hidup kita.
Renungan
Umat beriman yang
terkasih dalam Kristus!
Ada sebuah ceritera
tentang seorang janda tua. Dia memiliki tiga anak yang tinggal di perantauan.
Mereka sangat kaya. Pada saat Natal dan Tahun Baru, mereka selalu ingin
membahagiakan sang ibu dengan memberi hadiah mahal. Anak pertama membelikannya
sebuah rumah besar dan mewah. Putera kedua mengiriminya mobil yang sangat mahal
lengkap dengan sopir. Dan anak ketiga membelikannya burung beo pintar.
Menurutnya, burung beo itu dapat membuat ibunya senang karena ia dapat menyanyikan
lagu kesayangan ibunya, seperti lagu Malam Kudus.
Setelah menerima semua
hadiah itu, sang ibu mengirim surat kepada semua anaknya. Kepada anak pertama
ia mengatakan, “Anakku, terima kasih atas hadiahmu berupa rumah besar. Tapi
kamu tahu aku hanya tinggal di satu ruangan. Tapi aku harus membersihkan semua
kamar di rumah ini. Aku sangat lelah, capek dech”. Untuk anak kedua dia
berkata, “Terima kasih anakku untuk mobil yang mahal dengan sopirnya. Tapi kamu
tahu, aku semakin tua dan aku tidak suka bepergian lagi”. Dan akhirnya untuk
anak yang ketiga yang memberi hadiah burung beo, ia mengatakan, “Terima kasih
anakku. Kamu adalah seorang anak yang bijaksana. Kamu tahu bagaimana membuat
saya bahagia. Ayam yang kamu kirim itu benar-benar lezat”. Ternyata ibu itu
sudah memasak burung beo yang dikirim oleh anak ketiga itu menjadi gulai burung
beo.
Umat beriman yang
terkasih, hari ini kita merayakan pesta penampakan Tuhan/ Epiphania Domini. Dalam Perjanjian Lama, nabi Yesaya dalam bacaan
pertama tadi menubuatkan atau meramalkan, bahwa Kemuliaan Tuhan akan terbit
atas umat-Nya, Israel. Oleh karena itu, umat Israel diminta untuk percaya diri
membangun masa depannya setelah kembali dari pembuangan di Babel. Mereka juga
diminta untuk memberi kesaksian yang lebih luas, kesaksian yang menyentuh
seluruh bangsa, sehingga semua bangsa bisa berhimpun ke kota Yerusalem bukan
untuk memasyhurkan Yerusalem, melainkan untuk menyembah Tuhan dan memasyhurkan
Tuhan.
Nubuat nabi Yesaya ini
kemudian terpenuhi dengan lahirnya Penyelamat kita, Tuhan Yesus Kristus. Dialah
kemuliaan Tuhan yang telah terbit atas umat-Nya, bukan hanya untuk umat Israel,
melainkan untuk semua umat dari segala suku, bangsa dan bahasa. Kelahiran Tuhan
Yesus ini sungguh telah menampakkan kemuliaan Tuhan, sehingga orang-orang Majus
yang bukan berasal dari kalangan umat Israel pun tergerak hati untuk datang
menghadap, bersujud dan menyembah Dia.
Orang-orang Majus atau yang
biasa disebut dengan orang-orang Bijak atau tiga raja dari Timur itu adalah
orang-orang yang berasal dari Kerajaan Persia. Mereka ini mungkin juga adalah
para pendeta Zoroastrian, atau mungkin juga
ahli astrologi (yang meneliti bintang-bintang) dari Kerajaan Persia Kuno. Mereka
ini datang dengan membawa persembahan Emas,
Kemenyan dan Mur kepada bayi
Yesus. Persembahan-persembahan itu memiliki
arti tertentu, yaitu:
-. Emas, melambangkan bayi Yesus yang akan menjadi raja agung.
-. Kemenyan, melambangkan bayi Yesus yang akan menjadi imam agung.
-. Mur, melambangkan bayi Yesus yang kelak akan mati untuk menebus
dosa manusia.
Sungguh luar biasa
apabila kita mencermati kisah datangnya orang-orang Majus ini. Meskipun dari
luar kerajaan Israel, tetapi mereka tahu bahwa telah lahir seorang “Raja
Yahudi”, karena mereka telah melihat bintangNya di ufuk Timur. Itulah
penampakkan kemuliaan Tuhan yang sebenarnya mampu dilihat oleh manusia, namun
apa yang terjadi di Israel, di Betlehem, Sang Raja itu ternyata lahir di sebuah
kandang domba, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan. Sungguh
jauh dari kata pantas atau layak bagi lahirnya seorang Raja.
Umat beriman yang
terkasih, kita sepatutnya bertanya, mengapa Tuhan Yesus sampai lahir di kandang
domba, dalam keadaan yang jauh dari kata layak sebagai tempat bersalin atau
menantikan lahirnya seorang anak? Bagaimana perasaan Bunda Maria dan St. Yosef
pada waktu itu? Kita yang setiap kali memperingati hari Natal selalu membuat
kandang Natal, dihiasi lampu kerlap-kerlip, sadarkah kita apa yang harus kita
maknai dari kandang Natal itu?
Kandang Natal yang kita
buat atau kita lihat itu adalah sebuah kritik kepada kita, yaitu tentang sikap
penolakan manusia terhadap Tuhan. Dalam liturgi Malam Natal, Injil Lukas secara
jelas mencatat mengapa Tuhan Yesus harus lahir di sebuah kandang domba, karena
tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk. 2:7)! Itulah kenyataan
beku dan tertutupnya hati manusia untuk melihat kemuliaan Tuhan.
Hari ini, kita merayakan
pesta penampakan Tuhan, apakah kita pun sama seperti penduduk Betlehem waktu
itu yang masih menutup rapat rumah penginapan mereka, menutup hati dan diri kita
sebagai tempat lahirnya Tuhan? Dengan merayakan Natal dan dengan disadarkan
kembali melalui perayaan pesta penampakan Tuhan/Epiphania Domini ini, kita sekalian diminta untuk tidak mengulang
lagi kesalahan yang sama, seperti yang terjadi 2017 tahun yang lalu. Kita
diminta untuk membuka diri dan mempersilahkan Tuhan untuk lahir dalam hati,
dalam hidup dan karya kita. Dengan demikian, kita pun akan mampu, seperti
orang-orang Majus, melihat terbitnya bintang kemuliaan Tuhan, serta rela
mempersembahkan sesuatu kepada Sang Raja, Imam dan Penebus, Tuhan kita Yesus
Kristus, melalui hidup dan karya kita.
Umat beriman yang
terkasih dalam Kristus!
St. Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Efesus memberikan kepada kita sebuah teladan
bagaimana seharusnya kita memaknai Natal lewat hidup dan karya kita. St. Paulus
sungguh bersyukur karena Tuhan telah menampakkan kemuliaanNya kepada umat
manusia, tidak hanya kepada umat Israel, tetapi juga kepada semua orang dari
segala suku, bangsa dan bahasa. Melalui hidup dan karyanya, St. Paulus juga telah
berusaha memberikan atau mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan, yaitu dengan menyebarluaskan
Injil atau kabar gembira Tuhan bagi umat di sekitarnya, dari berbagai suku,
bangsa dan bahasa.
Bagaimana dengan kita?
Apakah kita juga sudah berusaha menampakkan kemuliaan Tuhan itu dalam hidup dan
karya kita, dengan memberikan atau mempersembahkan sesuatu, sehingga sesama di
sekitar pun bisa mengecap penampakan kemuliaan Tuhan itu melalui diri kita?
Ataukah kita, setelah merayakan hari Natal, bahkan sampai pada pesta penampakan
Tuhan ini, masih tetap kaku dan beku hatinya untuk mempersilahkan Tuhan lahir
dan menjadi besar dalam hidup dan karya kita? Apakah kita masih terlalu ingat
diri, hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan sesama di sekitar kita
yang butuh pertolongan atau bantuan kata dan perbuatan kita yang baik?
***
Kembali kepada ceritera
di awal renungan tadi, tentang pemberian hadiah anak-anak kepada ibunya,
seorang janda tua. Hikmah yang mau disampaikan dari ceritera itu adalah tentang
tujuan pemberian hadiah. Tujuan pemberian hadiah bukan untuk menunjukan bahwa
kita hebat, kita kaya, mempunyai segalanya, melainkan sebagai wujud kasih dan
pelayanan kita. Oleh karena itu, pemberian apapun itu harus dari keikhlasan
atau ketulusan hati, tanpa U di balik B (Udang di balik Batu), tanpa
perhitungan balas jasa dalam pemberian itu.
Sebenarnya ada tiga
jenis sikap pemberian yang bisa kita cermati:
Pertama, pemberian yang
disertai dengan sungut-sungut. Orang demikian akan memberi tetapi dibarengi
dengan omelan.
Kedua, memberi karena
kewajiban dan terpaksa. Mereka akan mengatakan, apa boleh buat, saya terpaksa
memberi. Misalnya, Aksi Natal, terpaksa diberi karena merupakan permintaan dari
paroki. Aksi Natal ini juga bisa saja diberi dengan sungut-sungut.
Ketiga, pemberian karena
keinginan. Mereka akan mengatakan saya mau memberi karena saya mau. Inilah
wujud kasih dan pelayananku bagi sesama. Apa yang saya lakukan untuk orang
lain, itu saya lakukan juga untuk Tuhan.
Nah termasuk, jenis
manakah diri kita dalam hal pemberian ini?
Selamat merenungkannya
lebih lanjut. Semoga penampakan kemuliaan Tuhan menyinari hidup dan karya kita!
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar