Hari Minggu Biasa IV, Tahun B

Berani Mengambil Bagian
Dalam Tugas Kenabian Kristus
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Ul. 18:15-20
Bacaan II: 1Kor. 7:32-35
Bacaan Injil: Mrk. 1:21-28

Kata Pengantar
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Hari ini kita merayakan Hari Minggu Biasa IV dalam tahun B. Bacaan-bacaan suci yang akan diperdengarkan kepada kita hari ini, mengajak kita untuk memusatkan kembali perhatian kepada perkara-perkara Tuhan, yaitu apa yang diperintahkan atau dikehendaki Tuhan supaya diamalkan atau dikerjakan dalam keseharian hidup kita. Sebagai orang beriman, perkara atau perintah atau kehendak Tuhan itulah yang harus menjadi prioritas utama hidup kita. Oleh karena itu, kita dituntut untuk berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan atau dikehendaki Tuhan.

Marilah kita menyiapkan hati dan budi kita untuk merayakan Ekaristi kudus ini, sambil menimba kekuatan iman dari Tuhan sendiri yang akan memampukan kita untuk memusatkan perhatian pada perkara-perkaraNya yang harus terlaksana dalam hidup dan karya kita.    


Renungan
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Kitab Ulangan mencatat, dalam bacaan pertama hari ini, bagaimana Tuhan memerintahan nabi Musa untuk memberitahukan kepada umat Israel tentang akan dipilihnya seorang nabi baru yang akan memimpin umat Israel. Dalam nubuat itu, Tuhan memberitahukan apa yang patut diketahui tentang nabi baru itu. Bahwa melalui nabi baru tersebut, Tuhan akan menaruh firmanNya dalam mulutnya, sehingga ia akan mengatakan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan dan umat harus menaatinya. Kriteria nabi itu juga adalah dia yang sungguh-sungguh memperhatikan apa yang menjadi kehendak Tuhan untuk disampaikan kepada umatNya, bukan berkata-kata menurut kehendaknya sendiri, atau berkata-kata demi allah lain, menyembah berhala. Sebab jika terjadi demikian, maka nabi tersebut harus mati.

Nubuat Tuhan yang disampaikan melalui perantaraan nabi Musa ini mau menegaskan bahwa ada tradisi kenabian di Israel. Sejak Tuhan mewahyukan diri kepada nabi Musa di gunung Horeb, SabdaNya menentukan jalannya sejarah keselamatan bangsa tersebut dengan kewibawaan Ilahi. Melalui nabi-nabiNya dan terutama melalui nabi baru yang akan dipilih itu, Tuhan mewahyukan diriNya, sehingga umat pun mengenal kehendakNya.

Para nabi di dalam Perjanjian Lama adalah orang-orang yang secara unik dipanggil oleh Allah dan diberikan pengetahuan supranatural, sehingga mampu mendengar suara Tuhan dalam rupa berita atau perintah untuk disampaikan kepada umat Israel. Para nabi berbicara dengan otoritas Ilahi, karena Allah memanggil mereka untuk menjadi juru bicaraNya.

Dalam sejarah kenabian Perjanjian Lama ini, ada juga masalah yang kerapkali dijumpai oleh umat Israel, yaitu adanya nabi palsu di tengah-tengah mereka. Nabi-nabi palsu ini adalah orang-orang yang tidak menyampaikan firman Tuhan, melainkan sebaliknya mereka menyampaikan impian-impian dan pendapat mereka sendiri. Oleh karena itu, dalam bacaan pertama tadi, Tuhan mengingatkan dan mengecam nabi-nabi palsu tersebut, bahwa dengan perilaku seperti itu mereka harus mati.

Misi kenabian dalam Perjanjian Lama sebenarnya merupakan suatu upaya bagaimana mereka mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah dengan mengajar, yaitu menubuatkan atau memaklumkan apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi umatNya. Sejarah kenabian yang kita kenal itu kemudian berakhir dengan tampilnya Yohanes Pembaptis, nabi terakhir dari Perjanjian Lama, yang mempersiapkan jalan bagi misi perutusan Tuhan Yesus Kristus.

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Kita juga perlu mengetahui bahwa pekerjaan Tuhan Yesus dalam misi perutusanNya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pekerjaan sebagai nabi, pekerjaan sebagai imam, dan pekerjaan sebagai raja. Secara khusus dalam bacaan Injil hari ini, kita sebenarnya disuguhkan dengan kisah tentang pekerjaan Tuhan Yesus sebagai nabi.

Seorang nabi sebenarnya memiliki beberapa peranan atau fungsi, yaitu:
-. Pertama, sebagai juru bicara Allah,
-. Kedua, bernubuat atau meramalkan peristiwa masa depan melalui wahyu Ilahi, dan
-. Ketiga, beberapa orang nabi juga mengadakan penyembuhan dan mujizat.

Tuhan Yesus memenuhi semua persyaratan untuk seorang nabi, baik itu dari segi gelar, perkataan dan perbuatanNya. Dia adalah Nabi Tertinggi yang sebenarnya dinubuatkan kedatanganNya dalam bacaan pertama tadi, karena Dia adalah Firman Allah sendiri. Oleh karena itu, Tuhan Yesus dalam pekerjaan atau pelayananNya sebagai nabi menyatakan dengan sempurna segenap kebenaran Allah yang mau disampaikan kepada kita, yaitu tentang rencana penyelamatan manusia. Tuhan Yesus adalah gambaran kesempurnaan seorang Nabi, yang selalu mengutamakan perkara Allah Bapa, yaitu perintah dan kehendakNya yang harus terlaksana dalam hidup dan karyaNya demi keselamatan manusia.

Bagi kita, pesan dari bacaan pertama dan bacaan Injil hari ini, yaitu mau mengingatkan kita tentang tugas kenabian Kristus yang menjadi bagian dari tugas kenabian kita juga. Kita ingat, ketika dibaptis sebagai orang Katolik, kita sekalian diurapi dengan minyak krisma, seperti Kristus diurapi oleh Roh Kudus menjadi Imam, Nabi dan Raja. Oleh karena itu, apa yang menjadi bagian dari tugas perutusan Yesus, adalah juga bagian dari tugas perutusan kita di tengan dunia ini.

Menjadi seorang nabi di tengah dunia modern ini memang bukanlah hal yang mudah. Pertama-tama, seperti diingatkan oleh St. Paulus dalam bacaan kedua tadi, bahwa kita masing-masing terlebih dahulu harus memusatkan perhatian pada perkara Tuhan atau apa yang menjadi kehendak atau perintah Tuhan yang harus terlaksana dalam hidup dan karya kita. Apa pun itu status hidup kita: selibat atau berkeluarga, sebagai imam atau awam, dalam berbagai pekerjaan yang kita lakukan, kita hendaknya mempergunakan kebebasan kita untuk memilih melakukan apa yang benar dan baik, melayani Tuhan tanpa kekuatiran dan gangguan. Sebab hanya dengan kesungguhan memusatkan perhatian pada perkara Tuhan itulah kita bisa menjadi juru bicara Allah, bisa bernubuat atau meramalkan peristiwa masa depan dengan pertolongan wahyu Ilahi, dan juga kita bisa mengadakan penyembuhan atau melakukan mujizat dalam nama Tuhan.

Keyakinan bahwa kita juga bisa menjadi seorang nabi, hal itu sebenarnya sudah dibuktikan melalui teladan hidup para kudus, santo-santa kita. Mereka juga sebenarnya hanyalah manusia biasa seperti kita, yang memilih hidup selibat maupun berkeluarga, namun karena mereka sungguh-sungguh memusatkan perhatiannya pada perkara Ilahi atau perkara Tuhan, maka mereka pun bisa melakukan pekerjaan seorang nabi seperti yang sudah disebutkan tadi.

Pada zaman now atau pada masa kini, contoh praktis yang bisa kita lakukan juga sebagai seorang nabi dalam keseharian hidup kita di dalam keluarga, di dalam masyarakat, di dalam paroki atau stasi atau lingkungan, maupun di dalam kehidupan bernegara, adalah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Kita belajar dari Tuhan Yesus, yang dengan tugas kenabianNya berani menentang segala praktik ketidakbenaran dan ketidakadilan yang merasuki umat Israel pada masanya. Itulah roh jahat yang sebenarnya merasuki manusia pada zaman kita juga. Roh jahat itu menjelma dalam pelbagai praktik pelecehan nilai-nilai kemanusiaan: korupsi, kolusi, nepotisme, perkelahian suami-isteri, perselingkuhan, pemerkosan, kemalasan beribadah, acuh tak acuh terhadap kebutuhan bersama, dan masih banyak lagi contoh yang bisa disebutkan. Semuanya itu adalah tindakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Kita sebagai orang Katolik, yang sudah dibaptis untuk mengambil bagian dalam tugas Kenabian Kristus, kita sendiri pertama-tama diminta untuk menghindari praktik-praktik ketidakbenaran dan ketidakadilan itu di dalam hidup kita, dan kita juga dituntut untuk berani menentang praktik-praktik ketidakbenaran dan ketidakadilan itu bila terjadi di lingkungan sekitar kita. Bagi para pejuang kebenaran dan keadilan, suara kenabian atau suara profetiknya adalah suara Tuhan. Jangan takut untuk mengusir roh-roh jahat itu di dalam hidup kita dan di dalam lingkungan sekitar kita.

Tuhan beserta kita, Tuhan memberkati kita!                                                                                                                     








Hari Minggu Biasa III, Tahun B

Bertobatlah Dan Percayalah Kepada Injil!
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Yun. 3:1-5.10
Bacaan II: 1Kor. 7:29-31
Bacaan Injil: Mrk. 1:14-20

Kata Pengantar
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Hari ini kita memasuki hari Minggu Biasa III. Sabda Tuhan hari ini mau menyadarkan kita untuk memberikan kesaksian iman yang kuat dan berdaya dalam hidup dan karya perutusan kita masing-masing. Kita sekalian diminta untuk terlibat bersama Allah dalam menghadirkan kerajaanNya di dunia ini, dengan senantiasa menyerukan pertobatan dan ajakan untuk percaya kepada Injil, pertama-tama untuk diri kita sendiri dan kemudian kepada sesama di sekitar kita. Sebab hidup kita di dunia ini hanya sementara. Dunia yang kita kenal sekarang ini akan berlalu. Hanya dengan bertobat dan percaya kepada injil, maka kita dapat memiliki kewarga-negaraan surgawi, yaitu tanah air sejati yang akan dianugerahkan Tuhan kepada kita bertobat dan percaya kepadaNya.

Marilah kita menyiapkan diri untuk memulai perayaan Ekaristi kudus ini, sambil terlebih dahulu menyesali dan memohon ampun atas segala kelalaian dan dosa kita.



Renungan
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Penginjil Markus hari ini menceriterakan bagaimana Yesus memulai karya perutusanNya di Galilea setelah Yohanes Pembaptis ditangkap. Yesus mewartakan kabar gembira tentang permulaan kegenapan waktu, yaitu tentang kerajaan Allah sudah dekat dan ajakan supaya bertobat serta percaya kepada Injil. Kemudian, Yesus juga memanggil beberapa murid untuk turut terlibat besama denganNya, yaitu hidup dan bekerja bersama denganNya untuk mewartakan pertobatan dan kabar gembira kedatangan Kerajaan Allah itu.

Menarik untuk kita renungkan, bahwa sebelum kita mendengar seruan Yesus, “Waktunya telah genap. Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”, kita terlebih dahulu disuguhkan dengan ceritera tentang nabi Yunus yang diutus Tuhan untuk menyerukan pertobatan di Niniwe, yaitu sebuah kota bukan Yahudi, bukan di Israel, tetapi penduduk di kota langsung percaya kepada Tuhan dan bertobat.

Dibandingkan dengan masa Yesus, seruan pertobatan itu tidak langsung ditanggapi oleh semua orang di Galilea, melainkan hanya oleh beberapa orang yang rela meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus, yaitu Simon dan Andreas, serta Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus. Padahal yang menyerukan pertobatan dan ajakan untuk percaya kepada Injil itu adalah Putera Allah sendiri. Dan tempat pewartaanNya adalah di Israel, yang notabene adalah bangsa pilihan Tuhan. Namun itulah kenyataan yang terjadi pada waktu itu, bahwa bangsa yang sebelumnya tidak mengenal Tuhan kemudian berbalik bertobat dan percaya kepada Tuhan, sedangkan bangsa yang sebenarnya sudah mengenal Tuhan tetapi seakan-akan menutup telinga terhadap seruan pertobatan dan pewartaan Injil dari Putera Allah sendiri.

Situasi atau kondisi ini juga yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini, pada masa kita juga, atau yang lebih trendnya dengan istilah atau sebutan “zaman now”. Bahwa pewartaan Tuhan Yesus, yang mengajak kita untuk bertobat dan percaya kepada Injil masih belum ditanggapi secara serius. Bahkan oleh orang-orang yang sudah dibaptis dan menerima sakramen-sakramen di dalam Gereja, namun perilaku hidupnya masih jauh dari kehendak Tuhan.


Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
St. Paulus dalam bacaan kedua tadi juga mengingatkan kita, bahwa hidup kita di dunia ini hanya sementara saja, dunia yang kita kenal sekarang ini akan berlalu.  Oleh karena itu, kita perlu bertobat dan memikirkan pula hal-hal surgawi, tentang hidup sesudah hidup di dunia ini seperti yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus sendiri.
***
Mengapa kita perlu bertobat terus-menerus dan memperbaharui iman atau kepercayaan kita kepada Tuhan? Karena pertobatan itu merupakan sebuah proses.
Kata bertobat digunakan Alkitab untuk menggambarkan awal perubahan rohani yang sejati. Seorang ahli bahasa, W. E. Vine, mengartikan bertobat sebagai "perubahan pikiran atau tujuan seseorang". Dalam Perjanjian Baru, pertobatan selalu melibatkan perubahan ke arah yang lebih baik yaitu ketika seseorang meninggalkan dosa dan berpaling kepada Allah. Saat kita menyesal karena melakukan kesalahan atau karena tertangkap setelah berbuat salah, perasaan ini hanyalah sekadar kosmetik rohani. Pertobatan yang sejati terjadi di lubuk hati kita yang terdalam dan membuahkan perbedaan yang nyata dalam perbuatan kita. Ketika kita berpaling kepada Kristus dan menyerahkan diri kepadaNya, Dia akan mengadakan perubahan yang sejati dalam diri kita, bukan sekadar perubahan tambal sulam (David McCasland).
***
Memang harus diakui bahwa kita ini manusia lemah, yang seringkali lalai dan berbuat dosa. Namun bagaimanapun sebagai orang beriman Katolik, kita hendaknya terus mendengarkan seruan pertobatan dan ajakan percaya kepada Injil yang diwartakan Tuhan Yesus kepada kita. Sebab Kerajaan Allah yang sudah dekat, yang kita dambakan atau impikan untuk tinggal di dalamnya sesudah beralih dari dunia ini, hanya bisa kita peroleh jika kita sungguh-sungguh bertobat dan percaya kepada Injil.

Ada sebuah ceritera lelucon, tetapi nilai kritiknya mendalam sekali untuk kita. Bunyinya seperti ini, “Cita-cita masuk surga, tetapi malas berdoa dan hari Minggu tidak pergi ke Gereja. Memangnya sampeyan punya orang dalam?” Lelucon ini adalah sebuah tamparan untuk kita semua yang merasa diri orang Katolik, tetapi perilaku hidupnya seperti bukan orang beriman. Kita dipersilahkan untuk memeriksa diri kita masing-masing, sudahkah saya rajin berdoa? Sudahkah saya rajin ke Gereja? Kalau belum atau kadang-kadang saja, maka saat ini adalah saat yang tepat untuk membarui hidup kita. Tuhan Yesus sekali lagi menyapa saya dan anda untuk bertobat dan mengajak kita untuk percaya kepada Injil yang harus dibuktikan dengan kerajinan kita berdoa dan pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi kudus pada hari Minggu dan hari-hari Raya yang disamakan dengan hari Minggu. Selain itu, pertobatan dan ungkapan kepercayaan kita kepada Injil juga harus disertai dengan melakukan banyak perbuatan kasih, terhadap diri sendiri maupun terhadap sesama di sekitar kita. Itulah tuntutan menyeluruh dari seruan pertobatan dan percayalah kepada Injil yang diwartakan Tuhan Yesus kepada kita.

Proses pertobatan ini mungkin akan berlangsung sepanjang umur hidup kita di dunia ini. Tetapi kalau kita bersedia menjalaninya, maka Tuhan Yesus pasti akan membantu kita melewati masa pertobatan itu dengan baik. Yang diharapkan dari kita adalah kesedian dan kesungguhan hati untuk memulai proses pertobatan itu terus-menerus di dalam hidup kita, maka pada akhirnya kita akan menikmati buah-buah pertobatan itu di dalam hidup kita, sekarang dan sesudah hidup di dunia ini.

Tuhan memberkati kita sekalian!


Hari Minggu Biasa II, Tahun B

Dipanggil Dan Dipilih Untuk Mengambil Bagian
Dalam Karya Keselamatan Tuhan
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: 1Sam. 3:3b-10.19
Bacaan II: 1Kor. 6:1c-15a.17-20
Bacaan Injil: Yoh. 35-42

Kata Pengantar
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Hari ini kita sudah memasuki Masa Biasa, yaitu Hari Minggu Biasa II dalam Tahun B. Masa Natal sudah berakhir dengan pesta pembaptisan Tuhan yang dirayakan pada hari Senin lalu dan Masa Biasa di Hari Minggu Biasa I pun sudah dimulai sejak hari Selasa.

Pada hari Minggu Biasa II ini bacaan-bacaan suci yang akan diperdengarkan kepada kita mengetengahkan tentang panggilan, yaitu orang-orang yang dipilih Tuhan secara khusus untuk mengambil bagian dalam karya keselamatanNya. Tokoh-tokoh yang mendapat panggilan khusus itu, antara lain dalam Perjanjian Lama adalah Samuel dan dalam Perjanjian Baru, yaitu murid-murid Yesus.

Pada masa sekarang, Tuhan juga tetap memanggil dan memilih orang-orang khusus yang dikehendakiNya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatanNya. Dan Tuhan membutuhkan kita semua untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan itu, entah itu sebagai Imam, Bruder, Suster, bapak-ibu keluarga dan juga anak-anak. Kita semua adalah orang-orang khusus yang dipilih Tuhan untuk mengambil bagian dalam karya keselamatanNya, melalui hidup dan karya kita sehari-hari.

Marilah kita menyadari kembali panggilan hidup kita masing-masing dan memohon ampun atas segala kelalaian dan dosa kita, terutama kelalaian dan dosa mengabaikan kehendak Tuhan yang harus terlaksana dalam hidup dan karya kita.  

Renungan
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Kisah panggilan Samuel seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini mengundang kita untuk merenungkan tentang adanya panggilan Tuhan dan bagaimana kita seharusnya menanggapi atau menjawabi panggilan Tuhan itu. Namun, sebelum sampai pada adanya komunikasi antara Tuhan dan kita, terlebih dahulu kita harus mampu mengenali suara Tuhan dalam hidup ini.

Tuhan pada dasarnya mewahyukan atau memperkenalkan dirinya kepada kita melalui berbagai cara. Tentu yang paling utama adalah melalui Kitab Suci. Alkitab yang kita miliki, yang kita baca, kita dengarkan dan kita renungkan, entah itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, berisi suara Tuhan. Oleh karena itu, kita masing-masing, entah itu anak-anak, remaja maupun orang dewasa atau orang tua yang sudah dibaptis harus memiliki Alkitab atau Kitab Suci ini secara pribadi. St. Hieronimus (yang pestanya dirayakan pada setiap tanggal 30 September/Bulan Kitab Suci. Dia yang menerjemahkan Kitab Suci dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin, yang dikenal dengan nama terjemahan Vulgata) mengatakan begini kepada kita, Ignoratio Scripturarum, Ignoratio Christi Est, yang berarti “Tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus”. Oleh karena itu, memiliki Kitab Suci, membaca dan merenungkannya secara pribadi bagi orang Kristen atau orangnya Kristus itu hukumnya WAJIB! Sehingga, siapa saja di antara kita yang belum memiliki Kitab Suci, membaca dan merenungkannya secara pribadi, meskipun sudah dibaptis dan menerima sakramen-sakramen lainnya di dalam Gereja, berarti dia belum sungguh-sungguh mengenal Kristus. Statusnya sebagai orang Kristen Katolik itu hanya masih sebatas untuk mengisi lembaran kolom administrasi, atau kolom agama di KTP. Silahkan cek kembali kepemilikan Kitab Suci anda masing-masing secara pribadi.

Kita juga bisa mengenal suara Tuhan melalui sarana Hati Nurani atau Suara Hati kita sendiri, yang tidak lain adalah tempat bersemayam Tuhan; yang membisikkan kepada kita tentang apa yang baik dan benar untuk dikatakan dan dilakukan dalam hidup ini, serta apa yang jahat dan salah yang tidak boleh kita katakan dan kita lakukan dalam hidup ini.

Dan yang terakhir, Tuhan juga menyapa kita melalui perantara sesama. Melalui orang-orang di sekitar kita, yang berkehendak baik, Tuhan pun berbicara kepada kita: megingatkan, menegur dan memerintahkan kita untuk berkata dan berbuat yang baik dan benar di dalam hidup ini.

Itulah beberapa sarana, melaluinya kita bisa mengenal suara Tuhan. Setelah mengetahui cara mengenal suara Tuhan ini, maka selanjutnya kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Pada dasarnya Tuhan yang selalu mengambil inisiatif atau prakarsa terlebih dahulu untuk berbicara kepada kita, memanggil kita untuk mengambil bagian dalam karya keselamatanNya. Itu sudah pasti. Sekarang, bagaimana jawaban atau tanggapan kita?

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Dalam kisah panggilan Samuel tadi, pada mulanya dia tidak mengenal suara Tuhan. Oleh karena itu, ia dibantu atau diajar oleh imam Eli bagaimana seharusnya menanggapi panggilan Tuhan itu, yaitu dengan menjawab, “Bersabdalah, ya Tuhan, hambaMu mendengarkan”. Jawaban atau tanggapan ini sangat singkat, namun padat dan jelas maknanya. Jawaban atau tanggapan Samuel ini menekankan nilai pengabdian, yaitu kesediaan untuk mematuhi Tuhan yang telah memanggil dan memilihnya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan Tuhan.

Dalam bacaan Injil, melalui perantaraan Yohanes Pembaptis, Tuhan pun menyapa dan memanggil kedua murid yang ketika mendengar Yohanes berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah”, lalu pergi dan mengikuti Yesus. Kemampuan mereka mengenal suara Tuhan itu kemudian menghantar mereka kepada komunikasi dengan Yesus. Pertanyaan Yesus, “Apakah yang kamu cari?”, yang dijawab dengan sebuah pertanyaan balik, “Rabi, di manakah Engkau tinggal?” adalah sebuah ungkapan semangat mencari Tuhan yang mendekati dan kesediaan untuk tinggal bersama-sama dengan Dia, mengambil bagian dalam karya keselamatanNya.

Itulah dua contoh bagaimana Samuel dan kedua murid mengenali suara Tuhan, dipanggil atau disapa, lalu menjawab atau menanggapi panggilan Tuhan itu. Mereka menjadi orang-orang pilihan Tuhan, orang-orang khusus yang kemudian diutus untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan Tuhan, melalui hidup dan karya mereka.

Bagaimana dengan kita? Pada dasarnya Tuhan menyapa dan memanggil kita juga sebagai orang-orang khusus atau orang-orang pilihanNya, yang diberi tugas dan tanggung jawab tertentu. Entah itu sebagai Imam, Bruder, Suster, bapak-ibu keluarga, anak-anak, PNS, guru, pelajar, Misdinar, OMK, WK, petani, kita semua adalah orang-orang khusus yang dipanggil dan dipilih Tuhan untuk mengambil bagian dalam karya keselamatanNya, melalui hidup dan karya kita sehari-hari. Namun, apa jawaban atau tanggapan pribadi kita terhadap panggilan dan pilihan Tuhan ini?

Jika kita sungguh-sungguh menghayati hidup kita sebagai orang Kristen Katolik, dengan tugas dan tanggung jawab yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita dalam berbagai macam status yang sudah disebutkan tadi, maka kita sebenarnya sedang memelihara tubuh atau diri kita sebagai anggota Kristus. Oleh karena itu, St. Paulus dalam bacaan kedua tadi mengajak kita untuk memelihara diri atau tubuh kita, untuk memuliakan Tuhan melalui hidup dan karya kita. Bukannya menodainya dengan percabulan atau pengingkaran akan tugas dan tanggung jawab kita yang sudah dipercayakan Tuhan kepada kita.

Marilah kita menghayati hidup dan karya kita sebagai panggilan pengambilan-bagian dalam karya keselamatan Tuhan. Kita coba camkan sebuah kisah kecil dari Sta. Teresa dari Kalkuta, yang membaktikan hidup dan karyanya sebagai pelayan Tuhan.

Suatu kali seseorang bertanya kepada ibu Teresa seperti ini, "Ibu telah melayani kaum miskin di Kalkuta, India. Tetapi, tahukah Ibu, bahwa masih ada jauh lebih banyak lagi orang miskin yang terabaikan? Apakah Ibu tidak merasa gagal?" Sta. Teresa menjawab, "Anakku, aku tidak dipanggil untuk berhasil, tetapi aku dipanggil untuk setia ....".

Umat beriman yang terkasih, setiap pelayan Tuhan di mana pun dan dalam peran apa pun, tidak dipanggil untuk berhasil. Sebab jika panggilannya adalah keberhasilan, ia akan sangat riskan jatuh pada kesombongan atau penghalalan segala cara. Pelayan Tuhan dipanggil untuk setia. Melakukan tugas pelayanannya dengan penuh komitmen dan tanggung jawab. Semampunya, bukan semaunya.

Dalam melayani, bisa saja kita melihat bahwa apa yang kita lakukan seolah-olah tidak ada hasilnya. Bila kita menghadapi situasi demikian, jangan mundur. Tetaplah setia. Kesetiaan kita dalam melayani Tuhan tidak akan pernah sia-sia. Tuhan sendiri yang akan menyempurnakan hasilnya.


Tuhan memberkati kita sekalian!

Hari Raya Penampakan Tuhan/Epiphania Domini

Epiphania Domini Dan Pemberian Kita
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Yes. 60:1-6
Bacaan II: Ef. 3:2-2a.5-6
Bacaan Injil: Mat. 2:1-12

Kata Pengantar
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Hari ini kita merayakan Pesta atau Hari Raya Penampakan Tuhan/Epiphania Domini. Kita sekalian diajak untuk menyambut Yesus, Penyelamat kita, yang menampakkan diri di Betlehem 2017 tahun yang lalu. Meskipun kala itu Ia hanya terbaring dalam sebuah palungan di kandang domba karena dosa penolakan manusia, yang tidak sudi memberi tempat penginapan bagi kelahiranNya, namun kini kita sekalian bisa merelakan penginapan hidup kita sebagai tempat bersemayamNya. Marilah kita menghadap, bersujud dan menyembah Dia dalam perayaan Ekaristi Kudus ini, dengan terlebih dahulu memohon ampun atas segala kelalaian dan dosa penolakan kita juga; kebutaan mata hati kita yang seringkali tidak mampu melihat penampakan kemuliaanNya di dalam hidup kita.

Renungan
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Ada sebuah ceritera tentang seorang janda tua. Dia memiliki tiga anak yang tinggal di perantauan. Mereka sangat kaya. Pada saat Natal dan Tahun Baru, mereka selalu ingin membahagiakan sang ibu dengan memberi hadiah mahal. Anak pertama membelikannya sebuah rumah besar dan mewah. Putera kedua mengiriminya mobil yang sangat mahal lengkap dengan sopir. Dan anak ketiga membelikannya burung beo pintar. Menurutnya, burung beo itu dapat membuat ibunya senang karena ia dapat menyanyikan lagu kesayangan ibunya, seperti lagu Malam Kudus.

Setelah menerima semua hadiah itu, sang ibu mengirim surat kepada semua anaknya. Kepada anak pertama ia mengatakan, “Anakku, terima kasih atas hadiahmu berupa rumah besar. Tapi kamu tahu aku hanya tinggal di satu ruangan. Tapi aku harus membersihkan semua kamar di rumah ini. Aku sangat lelah, capek dech”. Untuk anak kedua dia berkata, “Terima kasih anakku untuk mobil yang mahal dengan sopirnya. Tapi kamu tahu, aku semakin tua dan aku tidak suka bepergian lagi”. Dan akhirnya untuk anak yang ketiga yang memberi hadiah burung beo, ia mengatakan, “Terima kasih anakku. Kamu adalah seorang anak yang bijaksana. Kamu tahu bagaimana membuat saya bahagia. Ayam yang kamu kirim itu benar-benar lezat”. Ternyata ibu itu sudah memasak burung beo yang dikirim oleh anak ketiga itu menjadi gulai burung beo.

Umat beriman yang terkasih, hari ini kita merayakan pesta penampakan Tuhan/ Epiphania Domini. Dalam Perjanjian Lama, nabi Yesaya dalam bacaan pertama tadi menubuatkan atau meramalkan, bahwa Kemuliaan Tuhan akan terbit atas umat-Nya, Israel. Oleh karena itu, umat Israel diminta untuk percaya diri membangun masa depannya setelah kembali dari pembuangan di Babel. Mereka juga diminta untuk memberi kesaksian yang lebih luas, kesaksian yang menyentuh seluruh bangsa, sehingga semua bangsa bisa berhimpun ke kota Yerusalem bukan untuk memasyhurkan Yerusalem, melainkan untuk menyembah Tuhan dan memasyhurkan Tuhan.

Nubuat nabi Yesaya ini kemudian terpenuhi dengan lahirnya Penyelamat kita, Tuhan Yesus Kristus. Dialah kemuliaan Tuhan yang telah terbit atas umat-Nya, bukan hanya untuk umat Israel, melainkan untuk semua umat dari segala suku, bangsa dan bahasa. Kelahiran Tuhan Yesus ini sungguh telah menampakkan kemuliaan Tuhan, sehingga orang-orang Majus yang bukan berasal dari kalangan umat Israel pun tergerak hati untuk datang menghadap, bersujud dan menyembah Dia.

Orang-orang Majus atau yang biasa disebut dengan orang-orang Bijak atau tiga raja dari Timur itu adalah orang-orang yang berasal dari Kerajaan Persia. Mereka ini mungkin juga adalah para pendeta Zoroastrian, atau mungkin juga ahli astrologi (yang meneliti bintang-bintang) dari Kerajaan Persia Kuno. Mereka ini datang dengan membawa persembahan Emas, Kemenyan dan Mur kepada bayi Yesus. Persembahan-persembahan itu memiliki arti tertentu, yaitu:
-. Emas, melambangkan bayi Yesus yang akan menjadi raja agung.
-. Kemenyan, melambangkan bayi Yesus yang akan menjadi imam agung.
-. Mur, melambangkan bayi Yesus yang kelak akan mati untuk menebus dosa manusia.   

Sungguh luar biasa apabila kita mencermati kisah datangnya orang-orang Majus ini. Meskipun dari luar kerajaan Israel, tetapi mereka tahu bahwa telah lahir seorang “Raja Yahudi”, karena mereka telah melihat bintangNya di ufuk Timur. Itulah penampakkan kemuliaan Tuhan yang sebenarnya mampu dilihat oleh manusia, namun apa yang terjadi di Israel, di Betlehem, Sang Raja itu ternyata lahir di sebuah kandang domba, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan. Sungguh jauh dari kata pantas atau layak bagi lahirnya seorang Raja.

Umat beriman yang terkasih, kita sepatutnya bertanya, mengapa Tuhan Yesus sampai lahir di kandang domba, dalam keadaan yang jauh dari kata layak sebagai tempat bersalin atau menantikan lahirnya seorang anak? Bagaimana perasaan Bunda Maria dan St. Yosef pada waktu itu? Kita yang setiap kali memperingati hari Natal selalu membuat kandang Natal, dihiasi lampu kerlap-kerlip, sadarkah kita apa yang harus kita maknai dari kandang Natal itu?

Kandang Natal yang kita buat atau kita lihat itu adalah sebuah kritik kepada kita, yaitu tentang sikap penolakan manusia terhadap Tuhan. Dalam liturgi Malam Natal, Injil Lukas secara jelas mencatat mengapa Tuhan Yesus harus lahir di sebuah kandang domba, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk. 2:7)! Itulah kenyataan beku dan tertutupnya hati manusia untuk melihat kemuliaan Tuhan.

Hari ini, kita merayakan pesta penampakan Tuhan, apakah kita pun sama seperti penduduk Betlehem waktu itu yang masih menutup rapat rumah penginapan mereka, menutup hati dan diri kita sebagai tempat lahirnya Tuhan? Dengan merayakan Natal dan dengan disadarkan kembali melalui perayaan pesta penampakan Tuhan/Epiphania Domini ini, kita sekalian diminta untuk tidak mengulang lagi kesalahan yang sama, seperti yang terjadi 2017 tahun yang lalu. Kita diminta untuk membuka diri dan mempersilahkan Tuhan untuk lahir dalam hati, dalam hidup dan karya kita. Dengan demikian, kita pun akan mampu, seperti orang-orang Majus, melihat terbitnya bintang kemuliaan Tuhan, serta rela mempersembahkan sesuatu kepada Sang Raja, Imam dan Penebus, Tuhan kita Yesus Kristus, melalui hidup dan karya kita.

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus memberikan kepada kita sebuah teladan bagaimana seharusnya kita memaknai Natal lewat hidup dan karya kita. St. Paulus sungguh bersyukur karena Tuhan telah menampakkan kemuliaanNya kepada umat manusia, tidak hanya kepada umat Israel, tetapi juga kepada semua orang dari segala suku, bangsa dan bahasa. Melalui hidup dan karyanya, St. Paulus juga telah berusaha memberikan atau mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan, yaitu dengan menyebarluaskan Injil atau kabar gembira Tuhan bagi umat di sekitarnya, dari berbagai suku, bangsa dan bahasa.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga sudah berusaha menampakkan kemuliaan Tuhan itu dalam hidup dan karya kita, dengan memberikan atau mempersembahkan sesuatu, sehingga sesama di sekitar pun bisa mengecap penampakan kemuliaan Tuhan itu melalui diri kita? Ataukah kita, setelah merayakan hari Natal, bahkan sampai pada pesta penampakan Tuhan ini, masih tetap kaku dan beku hatinya untuk mempersilahkan Tuhan lahir dan menjadi besar dalam hidup dan karya kita? Apakah kita masih terlalu ingat diri, hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan sesama di sekitar kita yang butuh pertolongan atau bantuan kata dan perbuatan kita yang baik?
***
Kembali kepada ceritera di awal renungan tadi, tentang pemberian hadiah anak-anak kepada ibunya, seorang janda tua. Hikmah yang mau disampaikan dari ceritera itu adalah tentang tujuan pemberian hadiah. Tujuan pemberian hadiah bukan untuk menunjukan bahwa kita hebat, kita kaya, mempunyai segalanya, melainkan sebagai wujud kasih dan pelayanan kita. Oleh karena itu, pemberian apapun itu harus dari keikhlasan atau ketulusan hati, tanpa U di balik B (Udang di balik Batu), tanpa perhitungan balas jasa dalam pemberian itu.

Sebenarnya ada tiga jenis sikap pemberian yang bisa kita cermati:
Pertama, pemberian yang disertai dengan sungut-sungut. Orang demikian akan memberi tetapi dibarengi dengan omelan.
Kedua, memberi karena kewajiban dan terpaksa. Mereka akan mengatakan, apa boleh buat, saya terpaksa memberi. Misalnya, Aksi Natal, terpaksa diberi karena merupakan permintaan dari paroki. Aksi Natal ini juga bisa saja diberi dengan sungut-sungut.
Ketiga, pemberian karena keinginan. Mereka akan mengatakan saya mau memberi karena saya mau. Inilah wujud kasih dan pelayananku bagi sesama. Apa yang saya lakukan untuk orang lain, itu saya lakukan juga untuk Tuhan. 

Nah termasuk, jenis manakah diri kita dalam hal pemberian ini?
Selamat merenungkannya lebih lanjut. Semoga penampakan kemuliaan Tuhan menyinari hidup dan karya kita! Amin. 



Hari Raya Santa Maria, Bunda Allah

Sta. Maria, Bunda Allah, Doakanlah Kami!
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Bil. 6:22-27
Bacaan II: Gal. 4:4-7
Bacaan Injil: Luk. 2:16-21

Kata Pengantar
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!Selamat tahun Baru 2018! Pada tanggal 1 Januari ini Gereja Katolik sebenarnya tidak hanya sekadar merayakan Tahun Baru, tetapi juga menghormatinya sebagai Hari Raya Santa Maria, Bunda Allah. Gereja mengajak kita semua untuk menghormati keibuan Ilahi Santa Maria, Bunda Yesus Kristus. Melalui Bunda Maria, Sang Sabda memperoleh kedagingan manusia. Melalui Bunda Maria, Allah yang tidak terlihat menjadi terlihat bagi kita, umatNya.

Pada hari ini juga dengan bantuan doa Santa Maria, Bunda Allah, kita berdoa bagi perdamaian dunia. Marilah kita menyiapkan diri untuk merayakan Ekaristi Kudus berahmat ini, dengan terlebih dahulu menyucikan hati, menyesali kelalaian dan dosa kita.

Renungan
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Bacaan-bacaan suci yang diperdengarkan kepada kita di awal tahun yang baru ini, mengajak kita untuk merenungkan bagaimana Tuhan memberkati hidup kita, meskipun terkadang kita lupa atau lalai bersyukur kepadaNya.

Dalam bacaan pertama dari kitab Bilangan, Tuhan sendiri berfirman bahwa Ia memberikan jaminan keselamatan melalui berkatNya; Tuhan memberkati, melindungi, memberi damai sejahtera, dan memelihara umatNya. Kita yang hadir di sini adalah juga umatNya. Dalam memasuki tahun yang baru ini, kita sekalian diingatkan kembali, bahwa kita juga diberkati Tuhan dan kita diminta untuk menghayati berkat Tuhan itu dalam hidup kita masing-masing sesuai dengan jati diri kita sebagai putera dan puteriNya.

Dalam bacaan Injil, berkat Tuhan itu sudah nyata dengan lahirnya Yesus, Sang Juruselamat kita. Kelahiran Sang Penebus yang menjadi berkat bagi kita ini tidak terlepas juga dari kerelaan hati seorang ibu untuk mengandung dan seorang bapak untuk mengasuh, yaitu Bunda Maria dan St. Yosef. Melalui kedua pribadi sederhana dan beriman ini, Tuhan menyatakan berkatNya yang sempurna bagi kita. Kelahiran Yesus, Juruselamat kita, yang didampingi oleh Bunda Maria dan St. Yosef ini hendaknya membawa sukacita dalam hidup kita, seperti para gembala yang sesudah mendapati Maria dan Yusuf serta Bayi yang terbaring di dalam palungan, kembali sambil memuji dan memuliakan Allah.

Dengan demikian, sudah selayaknya kita hidup sebagai anak-anak Allah yang baik sesuai dengan janji baptis kita, sehingga kita senantiasa hidup dalam berkat Tuhan dan pantas menjadi ahli waris Kerajaan Allah, seperti diingatkan dalam bacaan kedua hari ini dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia.

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Di awal tahun yang baru ini, Gereja juga mengundang kita semua untuk tidak hanya sekadar merayakan peristiwa ini sebagai pergantian tahun biasa dalam penanggalan masehi, yaitu dari tahun lama berganti kepada sebuah tanggal di awal tahun yang baru, melainkan lebih dari itu kita semua diundang untuk memasuki Tahun Baru ini dengan memohon doa dan penyertaan Santa Maria, Bunda Allah, dan Bunda kita-Bunda Gereja, sehingga kita mampu mengarungi seluruh hari dalam tahun yang baru ini dengan sebaik-baiknya.

Gereja secara khusus menghormati Santa Maria sebagai Bunda Allah atau Theotokos, karena Yesus Putera yang dikandung dan dilahirkannya adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam konsili Efesus pada tahun 431 dan kemudian diteguhkan lagi dalam Konsili Kalsedon pada tahun 451.

Bunda Maria adalah pribadi yang sangat akrab dengan umat beriman, sangat dekat dengan kita, karena selain sebagai Bunda Allah, ia juga adalah ibu. Ada sebuah pengalaman rohani dari seorang teolog apologet bernama Scott Hahn ketika meragukan status Santa Perwan Maria sebagai Bunda Allah. Sebelumnya Scott Hahn ini adalah seorang jemaat Kalvinis dari aliran Protestan dan menganggap dirinya seperti Saulus atau Paulus yang pada mulanya menganiaya Gereja perdana, demikian dia juga menganiaya Bunda Maria. Semakin lama ia menganiaya Bunda Maria, ia juga merasa semakin mencintainya. Selama bertahun-tahun ia menilai ajaran katolik tentang Bunda Maria dan devosi kepadanya sebagai penyakit yang mematikan di dalam diri orang katolik. Ia menilai orang katolik telah melecehkan  karya sempurna Yesus Kristus dan merampas kemuliaanNya. Tetapi ketika ia mendalami hidup Bunda Maria, ia menemukan bahwa ternyata Bunda Maria adalah karya sempurna Yesus Kristus dan pewahyuan teragung kemuliaanNya. Ia tidak lagi mencuri kemuliaan sang Putera, seperti bulan juga tidak mencuri sinar matahari.

Pengalaman rohani Scott Hahn ini hendaknya menyadarkan kita bahwa Bunda Maria adalah sungguh Bunda Allah, yang bisa membantu kita dalam segala situasi hidup kita layaknya seorang ibu yang bertanggung jawab, selalu memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Kita mungkin pernah mendengar pepatah ini, Ad Jesum Per Mariam (Menuju Yesus melalui Bunda Maria). Marilah kita membuka hati, membuka diri dan hidup kita, memasuki tahun 2018 ini dengan bersedia diantar oleh Bunda Maria kepada Sang Juruselamat kita, Tuhan Yesus Kristus. Semoga semua angan dan cita-cita yang hendak kita raih di tahun yang baru ini, dan harapan perdamaian dunia bisa tercapai atas berkat Tuhan.

Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami! Amin.