Hari Minggu Prapaskah II, Tahun B

“Inilah AnakKu Terkasih, Dengarkanlah Dia”
 (Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Kej. 22:1-2.9a.10-13.15-18
Bacaan II: Rm. 8:31-34
Bacaan Injil: Mrk. 9:2-10

Kata Pengatar
Umat beriman yang terkasih!
Di hari Minggu Prapaskah II ini, kita sekalian diundang untuk mendengarkan Suara Tuhan dan menaatiNya, maka niscaya hidup kita pun akan diberkati dan menjadi sarana penampakan kemuliaan Tuhan di tengah dunia ini.

Marilah kita menyiapkan diri untuk merayakan Ekaristi Kudus ini, dengan terlebih dahulu memohon ampun atas segala kelalaian dan dosa kita di hadapan Tuhan.

Renungan
Umat beriman yang terkasih!
Kisah tentang ketaatan Abraham terhadap perintah Tuhan untuk mengurbankan anaknya sendiri, Ishak, harus diakui sebagai sebuah ujian iman yang luar biasa dan sekaligus menjadi sebuah pembuktian iman manusia yang paling hebat kepada Allah sepanjang sejarah. Bayangkan saja jika dari antara kita, para orang tua, yang hanya memiliki satu anak, lalu diperintah Tuhan untuk mengurbankan anak itu sebagai kurban bakaran kepada Tuhan? Taatkah kita? Atau acuh tak acuh? Orang tua yang sungguh menyayangi anak semata wayangnya mungkin akan berkata, “Biar saya saja Tuhan, jangan anak saya”. Itulah reaksi manusiawi dan seharusnya dari para orang tua yang mau melindungi anaknya. Tetapi bagi Abraham perintah Tuhan sudah jelas, “Ambillah anak tunggal kesayanganmu, yaitu Ishak, pergilah ke tanah Moria, dan persembahkan dia di sana sebagai kurban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu”.

Dalam ketaatannya melaksanakan perintah Tuhan ini, Abraham bukannya tidak menyayangi Ishak, anak semata wayangnya, melainkan karena keteguhan imannya, maka Abraham rela melakukan apa saja yang dikehendaki Tuhan darinya. Abraham sungguh percaya, bahwa Tuhan tidak mungkin menyuruhnya berbuat dosa ketika Tuhan memerintahkan sesuatu kepadanya untuk diperbuat. Itulah iman Abraham yang tak kenal tawar-menawar dengan Tuhan. Abraham lebih memilih “takut akan Allah” dan menaati semua perintahNya, daripada membangkang dan menuruti kemauannya sendiri. Itulah sebabnya, karena pembuktian iman yang sungguh luar biasa ini, maka Tuhan membatalkan perintahNya untuk mengurbankan Ishak dan Abraham sangat dikasihi Tuhan, sehingga ia disebut sebagai sahabat Allah, bapak orang beriman dan bapa segala bangsa.

Saudara-saudari, kisah pengujian iman Abraham untuk mengurbankan Ishak itu sebenarnya hanya mau menggambarkan peristiwa yang akan datang dalam Perjanjian Baru, yaitu ketika Allah sendiri yang justru mengutus puteraNya ke dunia dan dikurbankan sebagai silih atas dosa umat manusia.

Itulah misteri pengujian iman Abraham, yang bermakna untuk menyadarkan manusia, bahwa yang Tuhan inginkan dari kita hanyalah keberimanan, tetap percaya kepadaNya dalam segala situasi hidup kita. Tuhan tidak mau mengurbankan manusia, baik Ishak maupun diri kita, sebagai kurban bakaran. Tuhan hanya menginginkan kita seperti Abraham, yaitu rela mendengarkan suaraNya/sabdaNya dan menaaati perintahNya/kehendakNya. Itulah yang akan menjadi berkat bagi kita, menjadi jaminan keselamatan hidup kita. Oleh karena itu, dalam peristiwa transfigurasi, yaitu ketika Yesus berubah rupa dan menampakkan kemuliaan ke-Allah-an PuteraNya di gunung Tabor, seperti yang kita dengar dalam bacaan Injil tadi, Allah Bapa sekali lagi mengingatkan kita, “Inilah AnakKu terkasih, dengarkanlah Dia”. Sebab Yesus-lah Kurban sesungguhnya yang telah menyelamatkan kita dari kebinasaan dosa. Dan perintah Allah Bapa bagi kita untuk mendengarkan Dia, mendengarkan apa yang diperintahkan/disabdakan Yesus dalam pewartaan InjilNya, patut menjadi perhatian utama dalam kehidupan beriman kita sehari-hari.

Memang kasih Allah tak terselami oleh keterbatasan pemahaman manusiawi kita. Dalam banyak pengalaman hidup kita, Tuhan sebenarnya hanya menguji iman kita, apakah kita sungguh percaya kepadaNya, mendengarkan suaraNya dan taat kepadaNya, atau kita justru sebaliknya meragukan kehadiranNya, acuh tak acuh terhadapNya, atau bahkan menganggap Tuhan itu tidak ada, sehingga kita berbuat sesuka hati, menuruti kemauan sendiri, mementingkan kepentingan diri kita sendiri. Namun bagi siapa saja yang sungguh beriman kepada Tuhan, seperti Abraham yang dijuluki bapak orang beriman, maka bersama Tuhan, kita tidak perlu takut atau gentar menghadapi berbagai tantangan hidup ini. Karena seperti kata St. Paulus dalam bacaan kedua tadi, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?”

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Di masa Prapaskah ini, sejak kita menandai diri dengan abu pada hari Rabu Abu sebagai tanda penyesalan dosa, kita sudah diingatkan dengan kata-kata Tuhan Yesus sendiri, yaitu Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil. Kita juga diminta untuk mengisi hari-hari di masa pertobatan ini dengan berdoa, berpuasa dan bersedekah. Itulah inti dari masa Prapaskah yang sedang kita jalankan ini. Sebab hanya dengan bertobat, dengan mengisi masa penuh rahmat ini dengan doa, puasa dan sedekah, maka kita kemudian boleh bergembira dan percaya kepada Injil atau kabar gembira yang diwartakan Tuhan Yesus, bahwa Kerajaan Allah yang sudah dekat itu akan menjadi milik kita juga.

Masa Prapaskah ini juga adalah salah satu bentuk ujian iman bagi kita, apakah kita sungguh-sungguh mendengarkan suara atau perintah Tuhan Yesus dan menaatiNya, seperti yang dikehendaki Allah Bapa kepada kita, “Inilah AnakKu terkasih, dengarkanlah Dia”. Ataukah kita masih merasa nyaman dengan cara hidup kita sendiri yang penuh dosa dan enggan bertobat, tetapi bermimpi untuk masuk Kerajaan Surga?

Marilah kita membarui kehidupan beriman kita di masa Prapaskah ini dengan bertobat, mendengarkan dan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan Yesus kepada kita, yaitu mengisi hari-hari hidup kita dengan doa, puasa dan juga bersedekah. Itulah ujian iman kita. Tuhan memberkati siapa saja yang mau bertobat dan percaya kepada Injil. Amin!
    
 



Hari Minggu Prapaskah I, Tahun B

“Perjanjian Perdamaian Tuhan Dan Manusia”
 (Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Kej. 9:18-15
Bacaan II: 1Ptr. 3:18-22
Bacaan Injil: Mrk. 1:12-15

Kata Pengatar
Umat beriman yang terkasih!
Masa Prapaskah telah dimulai sejak hari Rabu Abu. Kita sekalian telah menandai diri dengan abu sebagai lambang penyesalan atas dosa. Di hari ini Minggu Prapaskah I ini, seruan “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” kembali diperdengarkan kepada kita. Maksudnya, supaya kita semakin sadar untuk mendamaikan diri dengan Tuhan melalui doa, puasa dan sedekah atau derma kepada sesama. Kita juga harus percaya bahwa melalui rahmat Sakramen Pembaptisan yang telah kita terima, dan juga melalui sakramen-sakramen lainnya yang dirayakan dalam Gereja, kita memiliki jaminan keselamatan dari Tuhan sendiri. Itulah semangat pertobatan dan kepercayaan kepada Injil yang harus dibangun secara terus-menerus dan dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan beriman kita.
   
Marilah kita menyiapkan diri untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan merayakan Perjamuan kudus ini, dengan terlebih dahulu memohon ampun atas segala kelalaian dan dosa kita di hadapan Tuhan.

Renungan
Umat beriman yang terkasih!
Kita semua tentu pernah mendengar kisah tentang air bah yang membinasakan umat manusia di muka bumi ini pada zaman nabi Nuh. Hanya delapan orang yang selamat pada waktu itu, yaitu nabi Nuh dan anak-anaknya serta beberapa binatang yang diperintahkan Tuhan untuk dibawa serta naik ke dalam bahtera Nuh.

Peristiwa air bah (great deluge) itu terjadi sekita 4000 tahun yang lalu. Peristiwa ini merupakan bencana banjir yang luar biasa, yang melenyapkan seluruh dunia. Kisah air bah ini dianggap sebagai suatu penghukuman Ilahi, di mana Tuhan benar-benar marah kepada manusia akibat ulah dosa manusia itu sendiri. Orang Yahudi, umat Kristiani dan juga umat Islam  mempercayai bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Air bah itu terjadi 40 hari-40 malam lamanya. Air hujan membanjiri seluruh bumi, termasuk gunung-gunung tinggi sekalipun.

Setelah peristiwa air bah itu, Tuhan kemudian mengadakan kembali perjanjian dengan mereka yang selamat dari bencana itu, yaitu nabi Nuh dan anak-anaknya serta binatang-binatang yang dibawa serta dalam bahtera Nuh. Tuhan memasang busur di langit sebagai tanda perjanjian. Busur itulah pelangi yang kadang muncul seusai hujan sebagai tanda perjanjian perdamaian Tuhan dan manusia, bahwa Tuhan tidak akan melenyapkan lagi bumi dengan air bah.

Busur atau pelangi sebagai tanda perjanjian perdamaian Tuhan dan manusia itu sebenarnya tidak hanya terpasang di langit, tetapi juga telah nyata hadir di muka bumi ini, yaitu melalui diri Tuhan kita Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia untuk menyelamatkan kita dari kebinasaan dosa. Dialah tanda perjanjian perdamaian Tuhan dan manusia yang sesungguhnya, yang dalam bacaan Injil hari ini menyerukan kepada kita tentang kegenapan waktu, bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

“Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” adalah kalimat yang sebenarnya sudah sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Terutama pada hari Rabu Abu yang lalu. Ketika dahi kita diolesi abu sebagai tanda penyesalan dosa, imam atau pemimpin ibadat juga mengulang kata-kata Tuhan Yesus ini kepada kita masing-masing, yaitu bertobatlah dan percayalah kepada Injil. Dan kita dengan pasti menjawab, “Amin”. Itu berarti kita mau mengatakan, “Ya, saya mau bertobat dan percaya kepada Injil”.

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Seruan “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” itu menjadi sangat penting bagi kita selama masa Prapaskah ini, karena melaluinya kita juga sebenarnya diajak untuk mendamaikan diri dengan Tuhan. Dalam hal ini, kita diingatkan bahwa bukan Tuhan saja yang telah rela mengadakan perjanjian perdamaian dengan kita, umat manusia, tetapi sebaliknya, kita juga harus rela mengadakan perjanjian perdamaian dengan Tuhan, yaitu melalui pertobatan kita. Itulah tanggapan yang sepadan dengan kemurahan hati Tuhan, yang telah berjanji untuk tidak lagi membinasakan muka bumi dengan air bah sebagaimana kita dengar dalam bacaan pertama tadi. Oleh karena itu, selama masa Prapaskah ini kita harus sungguh-sungguh membarui diri, mendamaikan kembali diri kita dengan Tuhan melalui doa, puasa, dan juga bersedekah atau menolong sesama di sekitar kita.

Air bah yang membinasakan muka bumi pada zaman nabi Nuh itu telah berlalu, dan bagi kita orang Katolik air bah itu adalah lambang pembaptisan diri kita sendiri, yang telah menyelamatkan kita dari kebinasaan maut, seperti diingatkan oleh St. Paulus dalam bacaan kedua tadi. Untuk itu, kita patut mengucap syukur kepada Tuhan, karena telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan kita secara paripurna melalui diri PuteraNya, Tuhan kita Yesus Kristus, yang rela menderita sengsara dan wafat di kayu salib sebagai silih atas segala dosa kita. Bagi kita sekarang, yang terpenting adalah terus membarui diri.

Dengan berdoa, kita diminta untuk menyadari kembali hubungan pribadi kita dengan Tuhan, Pencipta kita. Bahwa kita berasal dari Tuhan dan pada waktunya akan kembali lagi kepada Tuhan. Oleh karena itu, dengan berdoa atau berkomunikasi dengan Tuhan, kita senantiasa memohon petunjuk Tuhan; apa yang Tuhan kehendaki supaya kita perbuat melalui hidup dan karya kita sehari-hari.

Dengan berpuasa, kita sebenarnya mengoreksi kembali kebiasaan-kebiasaan hidup kita yang salah atau buruk, supaya diganti dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, yang bisa mendatangkan kedamaian dan sukacita di dalam hidup kita. Puasa terbaik menurut Paus Fransiskus adalah sebagai berikut:
-. Puasa mengeluarkan kata-kata yang menyerang dan ubahlah dengan kata-kata yang manis dan lembut.
-. Puasa kecewa atau tidak puas, dan penuhilah dirimu dengan rasa syukur.
-. Puasa marah dan penuhi dirimu dengan sikap taat dan sabar.
-. Puasa pesimis. Penuhilah dirimu dengan optimisme.
-. Puasa kuatir dan penuhilah dirimu dengan percaya pada Tuhan.
-. Puasa meratap atau mengeluh dan nikmatilah hal-hal sederhana dalam kehidupanmu.
-. Puasa stress dan penuhilah dirimu dengan doa.
-. Puasa dari kesedihan dan kepahitan. Penuhilah hatimu dengan sukacita.
-. Puasa egois, dan gantilah dengan bela rasa pada sesama.
-. Puasa dari sikap tidak bisa mengampuni dan suka balas dendam. Gantilah dengan perdamaian dan pengampunan.
-. Puasalah bicara banyak dan gantilah dengan keheningan dan sikap siap sedia mendengarkan orang lain.

Dengan memberi sedekah atau derma, kita diundang menyadari kembali hukum terutama  dalam hidup ini, yaitu mengasihi Allah dan sesama sebagai satu paket tindakan/perbuatan. Bahwa kita tidak bisa mengatakan kita ini umat beriman, yang mengasihi Tuhan Allah, tetapi kemudian mengabaikan sesama di sekitar kita yang membutuhkan uluran tangan kasih kita secara material maupun spiritual. Ada banyak bentuk sedekah yang bisa kita berikan selama masa tobat ini, misalnya melalui APP (Aksi Puasa Pembangunan) untuk keuskupan kita, melalui kerja tobat di Gereja atau di lingkungan sekitar kita pada setiap hari Jumat selama masa Prapaskah, dengan mengunjungi keluarga yang sakit, yang tidak mampu, dan memberikan bantuan sesuai kemampuan kita, dan lain sebagainya yang bisa kita tambahkan.

Umat beriman yang terkasih!
Dengan menjalankan sungguh-sungguh laku tobat seperti yang dituntut selama masa Prapaskah ini, maka kemudian kita boleh bergembira menerima/percaya kepada Injil atau Kabar Gembira Tuhan, bahwa Kerajaan Allah yang sudah dekat itu adalah milik kita juga.

Marilah kita menanggapi ajakan perdamaian Tuhan, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” ini dengan penuh komitmen demi sukacita dan kebahagiaan hidup kita, sekarang dan pada waktu kita kembali ke dalam KerajaanNya.


Tuhan memberkati kita sekalian! Amin. 

Hari Minggu Biasa VI, Tahun B

Mawas Diri Terhadap Dosa
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Im. 13:1-2.44-46
Bacaan II: 1Kor. 10:31 – 11:1
Bacaan Injil: Mrk. 1:40-45

Kata Pengantar
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Selamat memasuki hari Minggu Biasa VI dalam tahun liturgi B. Hari ini Gereja juga memperingati peristiwa Bunda Maria menampakkan diri kepada Bernadette Soubirous di gua Masabielle, Lourdes, Prancis pada tahun 1858. Paus Yohanes Paulus II kemudian menetapkan tanggal 11 Februari sebagai hari orang sakit sedunia (World Day of the Sick). Kepada Bunda Maria, Bunda yang penuh kelembutan cinta, kita percayakan semua orang yang menderita sakit jiwa-raga. Semoga Bunda Maria menopang mereka dalam pengharapan. Dan kita sebagai orang-orang Katolik juga dipanggil untuk melayani orang-orang sakit yang berada di sekitar kita, sehingga orang-orang sakit pun bisa tetap mengalami sentuhan kasih Allah melalui kata dan perbuatan kita yang baik. Kita adalah saluran kasih Allah kepada mereka yang sedang mengalami sakit jiwa maupun raga.

Marilah kita menyiapkan diri untuk merayakan Ekaristi Kudus ini, dengan terlebih dahulu menyesali segala kelalaian dan dosa kita, terutama dosa pengabaian terhadap mereka yang menderita sakit di sekitar kita.

Renungan
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Dalam bacaan pertama hari ini kita mendengar tentang penyakit kusta dan perlakuan yang seharusnya diberikan terhadap mereka yang menderita kusta. Secara medis, penyakit kusta boleh dibilang penyakit yang menjijikkan, karena apabila sudah mencapai stadium lanjut, benjolan-benjolan yang mula-mula terbentuk di sekujur tubuh akan mengeluarkan nanah, rambut kepala dan alis dapat rontok, kuku menjadi goyah, membusuk, lalu tanggal. Kemudian jari, anggota tubuh, hidung, atau mata korban yang digerogoti penyakit ini perlahan-lahan membusuk dan si penderita pun akhirnya meninggal dalam keadaan yang mengenaskan. Penyakit kusta ini juga adalah penyakit berbahaya karena sifatnya menular atau bisa menjangkiti orang lain yang bersentuhan atau berkontak dengan penderitanya.

Secara biblis atau berdasarkan catatan Kitab Suci, penyakit kusta seperti yang dikisahkan dalam bacaan pertama tadi sebenarnya bukan dilihat pertama-tama sebagai sebuah persoalan medis, tetapi sebagai sebuah persoalan teologis, yaitu dipandang sebagai hukuman atas dosa tertentu yang diperbuat. Penyakit kusta adalah simbol dosa. Oleh karena itu, yang bisa memeriksa dan mengetahui adanya penyakit kusta ini adalah imam, bukan tabib; mereka yang terkena kusta disebut najis, bukan sakit; dan ketika dinyatakan sudah tidak ada kusta lagi disebut tahir, bukan sembuh.

Dari pemahaman teologis ini, maka kita bisa memaklumi maksud dari bacaan pertama tadi, bahwa Tuhan bukan bertindak diskriminatif terhadap orang yang menderita sakit kusta dalam pemahaman medis. Melainkan penyakit ini juga bisa merupakan sebuah teguran dari Tuhan tentang perbuatan dosa tertentu yang diperbuat.
  
Ada beberapa kasus dalam Perjanjian Lama yang memperlihatkan bahwa penyakit kusta ini adalah teguran atau hukuman atas perbuatan dosa. Salah satunya adalah kisah Myriam, yang dihukum dengan penyakit kusta oleh Tuhan karena mengatai dan iri hati terhadap Musa (Bdk. Bil. 12:1-2.9-10). Peristiwa ini kemudian membuat orang Israel beranggapan bahwa penyakit kusta adalah penyakit dari Tuhan. Pada masa itu, penyakit ini memang belum ada obatnya, sehingga orang Israel percaya bahwa hanya Tuhan saja yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut secara ajaib.

Dan dalam bacaan Injil tadi, kita sudah mendengar bagaimana seorang penderita kusta disembuhkan Tuhan Yesus. Seperti orang Israel lainnya, penderita kusta itu juga pasti beranggapan bahwa penyakit yang dideritanya sebagai akibat dosa yang diperbuat. Oleh karena itu, hanya Tuhan saja yang bisa mentahirkannya. Dengan kesadaran itulah, ia datang kepada Yesus dan berkata, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku”. Penderita kusta itu beriman bahwa Yesus bukan hanya sekadar manusia biasa, melainkan Ia adalah Tuhan yang bisa memulihkan keadaannya. Karena pertobatan dan imannya itu, Tuhan Yesus pun tergerak oleh belas-kasihan dan mentahirkannya.

Pesan bagi kita tentang “penyakit kusta” sebagai simbol dosa adalah penyakit ini bisa juga menggerogoti hidup kita, diri kita. Atau dengan kata lain, seandainya dosa yang menggerogoti hidup kita itu bisa dilihat, maka dosa itu akan tampak seperti penyakit kusta: menjijikkan, harus dijauhi, harus diasingkan. “Penyakit kusta” model ini juga sukar ditahirkan atau dibersihkan apabila kita tidak rendah hati, tidak berlaku seperti penderita kusta dalam bacaan Injil tadi, yang mau bertobat dan dengan penuh iman memohon belas-kasihan Tuhan untuk mentahirkannya kembali.  

Oleh karena itu, saudara-saudari terkasih, kita diingatkan kembali melalui bacaan pertama dan bacaan Injil hari ini untuk mawas diri terhadap dosa, lekas bertobat apabila kita tidak ingin mati dalam keadaan berdosa. Pintu maaf Tuhan senantiasa terbuka bagi kita asalkan kita dengan penuh iman mau memohon belas-kasihanNya untuk mentahirkan kita, membersihkan kembali jiwa-raga kita. Dalam hal ini, Sakramen Tobat dalam Gereja sangat penting untuk dirayakan sebagai sarana pentahiran diri kita. Sekali lagi, kita dihimbau untuk setia menerima sakramen tobat ini sepanjang umur hidup kita, dengan melakukan pengakuan pribadi, agar kita selalu dibersihkan dari noda-noda dosa yang melekat dalam diri kita, yang menggerogoti hidup kita seperti penyakit kusta.

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Selain mawas diri terhadap dosa, patutlah juga kita renungkan pada hari ini tentang perhatian kita terhadap orang-orang yang benar-benar didiagnosa sakit secara medis.

Di dalam Gereja, hari ini kita juga merayakan hari orang sakit sedunia yang ke-26. Mengapa tanggal 11 Februari dipilih dan ditetapkan sebagai hari orang sakit sedunia? Karena hari ini bertepatan dengan peringatan penampakan Bunda Maria di Lourdes, yang terjadi 160 tahun yang lalu. Setelah penampakan itu, banyak orang berziarah ke Lourdes dan berdoa di sana. Banyak pula mujizat penyembuhan terjadi berkat pertolongan doa Bunda Maria di Lourdes. Oleh karena itu, pemilihan tanggal 11 Februari sebagai hari orang sakit sedunia bermakna mengikut-sertakan Bunda Maria dalam permohonan-permohonan kita untuk kesembuhan dari berbagai penyakit yang diderita, baik fisik maupun psikis.

Marilah kita bekerjasama dengan Bunda Maria untuk menolong orang-orang sakit di sekitar kita. Seperti Tuhan Yesus sendiri yang tergerak oleh belas-kasihan untuk menyembuhkan orang-orang sakit dalam karya pelayananNya, kita pun dipanggil bersama dengan Bunda Maria untuk melanjutkan karya misi Tuhan itu melalui hidup dan karya kita. Kita diminta untuk melakukan perbuatan baik ini demi kemuliaan Allah, seperti yang dinasihatkan St. Paulus dalam bacaan kedua tadi. Tuhan pasti memberkati hidup dan karya kita yang dibaktikan demi kemuliaan namaNya! Amin.



Hari Minggu Biasa V, Tahun B

Mewartakan Injil Tuhan Melalui Kata Dan Perbuatan Sehari-hari
(Pe. Matias da Costa, SVD)

Bacaan I: Ayb. 7:1-4.6-7
Bacaan II: 1Kor. 9:16-19.22-23
Bacaan Injil: Mrk. 1:29-39

Kata Pengantar
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Selamat memasuki hari Minggu Biasa V dalam tahun liturgi B. Dalam perayaan Ekaristi ini, kita diundang untuk merenungkan Sabda Tuhan dan menyambut Tubuh dan Darah Kristus yang menjadi sumber kekuatan hidup beriman kita. Kita perlu ingat bahwa kita sekalian yang sudah dibaptis dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus, dipilih dan diutus untuk merasul, mewartakan Injil Tuhan melalui kata dan perbuatan kita sehari-hari. Untuk itu, kita butuh peneguhan Sabda Tuhan dan Tubuh dan Darah Kristus secara terus-menerus, sehingga kita bisa menghayati dan menjalankan tugas mulia perutusan itu dengan sebaik-baiknya.

Marilah kita menyiapkan hati dan budi kita untuk merayakan Ekaristi kudus ini, dengan terlebih dahulu menyucikan diri, menyesali segala kelalaian dan dosa kita di hadapan Tuhan.  

Renungan
Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Kita semua tentu mengenal siapa itu Ayub yang diceriterakan dalam bacaan pertama hari ini. Dia adalah teladan orang saleh pada zamannya, yang meskipun diterpa dengan berbagai persoalan hidup dan penderitaan, namun ia tetap beriman bahwa Tuhan itu baik. Bahkan ketika penderitaannya memuncak sekalipun, yaitu saat menyaksikan anak-anaknya mati satu per satu secara mendadak, Ayub tetap pasrah kepada kehendak Tuhan. Ia menyerah kepada Tuhan karena imannya. Sedikit pun ia tidak mempersalahkan Tuhan. Iman Ayub itu sungguh luar biasa.

Dalam bacaan pertama tadi, kita hanya mendengar sebagian kecil kisah tentang Ayub yang dalam keprihatinannya berbicara kepada sahabatnya yang berusaha menghiburnya (sahabat Ayub ada 3, yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar. Bdk. Ayb. 2:11). Ayub berbicara tentang arti kehidupan yang belum mereka pahami. Ayub menuturkan bahwa hidup itu memang berat. Untuk hidup manusia perlu berjuang. Terkadang dengan segala cobaan dan penderitaan yang dialami, perjuangan untuk mempertahankan kehidupan itu pun tampak seperti sia-sia belaka. Namun jauh di lubuk hatinya, Ayub sebenarnya mau mengatakan kepada para sahabatnya bahwa hidup dan perjuangan untuk mempertahankan kehidupan itu tetap ada upahnya. Atau dengan kata lain, setelah melewati semua perjuangan untuk mempertahankan kehidupan itu, manusia pasti akan mendapat imbalannya. Hal itulah yang sungguh disadari Ayub ketika ia berkata, “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan? Seperti seorang budak yang merindukan naungan, seperti orang upahan yang menanti-nantikan upahnya…”. Dengan perkataan itu, Ayub sebenarnya sedang memaknai kehidupannya sendiri. Ayub beriman bahwa tuan kehidupan itu adalah Tuhan dan bahwa setelah melewati berbagai persoalan, penderitaan, dan duka cita yang dialaminya, ia akan menerima upah penghiburan dari Tuhan sendiri. Oleh karena itu, Ayub berusaha meyakinkan para sahabatnya bahwa meskipun hidup itu berat, namun hidup itu sebenarnya tidak sia-sia apabila manusia selalu menyadari kehadiran Tuhan di dalamnya. Itulah Injil atau kabar gembira yang mau diwartakan oleh Ayub melalui perkataannya, meskipun dalam keadaan hidup yang sangat terpuruk. Dan Ayub mewartakan itu bukan hanya dengan perkataan saja, tetapi juga dalam tindakan atau perbuatannya yang tetap teguh bertahan dalam segala situasi hidupnya.

Dalam bacaan Injil tadi, kita pun diingatkan kembali untuk mengambil bagian dalam tugas pewartaan Injil atau kabar gembira Tuhan itu melalui perkataan dan perbuatan kita, kapan dan di mana pun dan dalam situasi apa pun. Injil Markus tadi mengisahkan tentang Tuhan Yesus yang menyembuhkan ibu mertua Simon yang sakit demam dan banyak orang lain yang menderita sakit dan kerasukan setan. Karena mujizat-mujizat penyembuhan dan pengusiran setan itu, maka semua penduduk kota (Kapernaum) itu mencari Yesus dengan harapan bahwa mereka bisa menahan Yesus untuk tinggal tetap di antara mereka, seperti yang dikatakan para murid, “Semua orang mencari Engkau”. Tetapi jawaban Yesus menyadarkan para murid bahwa ke tempat lain pun, Ia harus mewartakan Injil. Itu berarti para murid pun memiliki tugas yang sama untuk mengikuti Yesus, bahwa ke tempat lain pun mereka harus mewartakan Injil atau kabar gembira Tuhan.

Umat beriman yang terkasih dalam Kristus!
Satu hal yang patut dicatat dari hidup, kata dan perbuatan, Yesus dalam mewartakan Injil adalah Ia selalu berdoa. Tuhan Yesus berdoa, artinya berkomunikasi dengan Allah Bapa, untuk semakin memahami kehendakNya. Sebab itu, jawaban Tuhan Yesus, “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan supaya di sana juga Aku memberitakan Injil karena untuk itu Aku telah datang”, merupakan hasil dari doa, yang meneguhkan komitmenNya untuk mewartakan Injil sesuai kehendak Allah Bapa.

Bagi kita, setelah dibaptis, kita pun sudah dilantik untuk mengambil bagian dalam tugas perutusan Tuhan Yesus untuk mewartakan Injil, melalui kata dan perbuatan kita sehari-hari. Agar bisa menjalankan tugas mulia perutusan ini, maka Tuhan Yesus juga sudah mengajari kita hal penting sebelum kita berkata dan berbuat sesuatu dalam keseharian hidup kita, yaitu dengan terlebih dahulu berdoa. Doa adalah komunikasi pribadi dengan Tuhan, di mana kita bisa memohon, bersyukur dan juga bisa bertanya apa yang Tuhan kehendaki dari hidup dan karya kita. Sebab, entah apa pun status hidup kita, kita semua adalah sarana atau alat di tangan Tuhan untuk memaklumkan Injil atau kabar gembiraNya di tengah dunia ini, terutama di lingkungan sekitar kita. Oleh karena itu, sebagai orang beriman kita harus sependapat dengan apa yang dikatakan St. Paulus dalam bacaan kedua tadi, “Celakalah aku jika tidak memberitakan Injil”. Dalam situasi apa pun, kapan dan di mana pun, kita wajib mewartakan Injil atau kabar gembira Tuhan dengan perkataan dan perbuatan kita yang baik. Sekali lagi, patutlah kita semua camkan, “Celakalah aku jika tidak memberitakan Injil”.

Marilah kita mewartakan Injil Tuhan melalui kata dan perbuatan kita sehari-hari. Tuhan memberkati hidup dan karya kita yang dibaktikan untuk InjilNya!